spnews.id| TULUNGAGUNG – Di negeri yang katanya menjunjung tinggi akal budi dan keadaban publik, proyek rehabilitasi tiga ruang kelas dan laboratorium IPA di SMAN 1 Kalidawir, Kabupaten Tulungagung, justru menyisakan ironi yang menggigit nurani. Dengan anggaran APBN Tahun 2025 sebesar Rp 833.100.000, proyek ini seharusnya menjadi simbol kemajuan pendidikan. Namun yang tampak di lapangan adalah potret buram dari tata kelola yang gamang dan keselamatan kerja yang diabaikan, Rabu (05/11/2025).
PPK: Pejabat yang Hilang dalam Kabut Ketidaktahuan
Ketika ditanya siapa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)—tokoh sentral dalam pengelolaan proyek negara—pihak sekolah justru menjawab dengan kebingungan. Yudi Eko Prasetyo, bagian sarana dan prasarana, bahkan balik bertanya: “Apa itu PPK?”
Pertanyaan ini bukan sekadar kelucuan administratif. Ia adalah cermin dari betapa rapuhnya kesadaran akan tanggung jawab publik. Ketidaktahuan terhadap struktur formal proyek senilai ratusan juta rupiah bukan hanya kelalaian, tapi juga pengkhianatan terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas.
K3: Keselamatan yang Dikorbankan di Altar Ketergesaan
Di tengah gegap gempita pembangunan, puluhan pekerja tampak mengerjakan pengecoran lantai dak tanpa Alat Pelindung Diri (APD). Helm proyek, sepatu keselamatan, rompi kerja—semuanya absen. Padahal mereka bekerja di lingkungan sekolah yang masih aktif, di mana nyawa siswa dan guru ikut dipertaruhkan.
Ketika regulasi Permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang K3 Lingkungan Kerja dilanggar secara terang-terangan, dan pelaksana proyek berdalih “sudah memperingatkan,” maka yang terjadi bukan sekadar pembiaran, melainkan penistaan terhadap martabat manusia pekerja.
Swakelola Semu: Ketika Kata Tak Lagi Bermakna
Proyek ini diklaim sebagai swakelola. Namun pengakuan mandor bahwa pengerjaan dipercayakan kepada pihak luar bernama Ari dari Batangsaren, membuka tabir praktik pemborongan terselubung. Jika swakelola adalah janji kemandirian institusi, maka kehadiran pihak ketiga adalah pengingkaran terhadap janji itu.
Di sini, kita menyaksikan bagaimana kata “swakelola” kehilangan makna. Ia menjadi jargon kosong, dipakai untuk menutupi praktik yang tak sesuai dengan semangat regulasi. Dan ketika kata tak lagi bermakna, maka demokrasi pun kehilangan ruhnya.
Seruan Moral: Publik Berhak Tahu
Proyek ini bukan sekadar urusan beton dan semen. Ia adalah soal kejujuran, soal tanggung jawab, soal keberpihakan pada keselamatan manusia. Publik berhak tahu ke mana perginya setiap rupiah dari anggaran negara. Dan lebih dari itu, publik berhak menuntut agar proyek pendidikan tidak menjadi ladang pelanggaran etika.
Jika negara adalah amanah, maka proyek ini adalah ujian kecil dari amanah itu. Dan jika kita gagal dalam ujian kecil, bagaimana mungkin kita berharap lulus dalam ujian besar sebagai bangsa?
( Mualimin/ SPJ News.id )
