spjnews.id | TULUNGAGUNG — Di tengah semangat reformasi birokrasi dan transparansi anggaran pendidikan, sebuah ironi mencuat dari jantung lembaga pendidikan negeri: SMAN 1 Campurdarat, Tulungagung, propinsi Jawa Timur. Dugaan pungutan liar (pungli) bermodus “sumbangan sukarela” menyeruak, menampar nurani publik yang percaya bahwa pendidikan negeri adalah hak, bukan ladang iuran.
Temuan SPJ News.id di lapangan menunjukkan adanya dua kwitansi berbeda yang mencantumkan istilah “bantuan partisipasi masyarakat” dengan nominal Rp500.000 dan Rp200.000 sebanyak empat kali. Jika dikalkulasi, angka itu bukan sekadar sumbangan, melainkan nyaris menyerupai pungutan terstruktur.
Padahal, negara telah menggelontorkan Dana BOS dan BOP—dua instrumen anggaran yang dirancang untuk menjamin operasional sekolah negeri tanpa membebani rakyat. Dana ini bukan sekadar angka, melainkan manifestasi dari janji konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, ketika SPJ News mengonfirmasi kepada Kepala Sekolah SMAN 1 Campurdarat, Bu Nining, pada Minggu
( 02 November 2025), jawaban yang muncul justru menambah getir: “Tidak ada pungutan, hanya sumbangan sukarela yang disepakati melalui rapat komite.” Bahkan, kwitansi Rp200.000 x 4 disebut sebagai bukti sumbangan.
Lalu, muncul pertanyaan mendasar: Jika Dana BOS dan BOP tidak mampu meng-cover kebutuhan sekolah, apakah pantas beban itu dialihkan kepada siswa dan orang tua? Apakah kegiatan PHBN dan hari besar keagamaan harus dibayar dengan uang rakyat, padahal semestinya menjadi bagian dari pembinaan karakter yang dijamin negara?
Bu Nining menjawab lugas, “Inggih bapak, memang seperti itu adanya. Seandainya cukup, mboten pengen pihak sekolah meminta sumbangan.” Ia juga mengakui bahwa dari 800 siswa, jika masing-masing menyumbang Rp500.000, maka terkumpul Rp400 juta lebih. Namun, menurutnya, komite hanya menerima separuhnya. “Yang menyumbang tidak semua Rp500 ribu, ada yang Rp100 ribu juga, dan itu kwitansi tahun 2024 kepala sekolah yang lama yang tahu mas, saya kan baru 5 bulan disini” ujarnya.
Pernyataan ini membuka ruang tafsir yang lebih dalam: ke mana separuh dana itu mengalir? Apakah transparansi dan akuntabilitas telah menjadi budaya di sekolah negeri, atau masih sebatas jargon?
Dalam pandangan pendidikan adalah jalan pembebasan. Maka, pungutan yang membebani justru menjadi pengkhianatan terhadap esensi pendidikan itu sendiri. Ketika sekolah negeri mulai menyerupai lembaga komersial, kita patut bertanya: apakah kita sedang mendidik generasi merdeka, atau justru membentuk generasi yang terbiasa tunduk pada sistem yang tidak adil?
Ironi ini bukan sekadar soal uang. Ini soal nilai. Soal kejujuran. Soal keberpihakan. Dan yang paling penting: soal tanggung jawab kita sebagai bangsa.
( Mualimin/ SPJ News.id )









