JOMBANG | SPJNEWS.ID – Dua organisasi pelaku pariwisata di Kabupaten Jombang, yakni Asosiasi Pariwisata Jombang (ASPARJO) dan Asosiasi Desa Wisata Indonesia (ASIDEWI) Jombang, dengan tegas meminta DPRD dan Pemkab Jombang menunda penetapan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) 2025–2045.
Permintaan itu disampaikan dalam rapat pembahasan RAPERDA RIPPARDA yang digelar Komisi A DPRD Jombang, Rabu (25/10/2025). Rapat dihadiri anggota Komisi A DPRD seperti Totok Hadi Riswanto (F-PDIP), Kartiyono (F-PKB), dan Jawahirul Fuad (F-PDIP), serta perwakilan dari Disporapar, Bappeda, dan Biro Hukum Pemkab Jombang.
Dari kalangan pelaku pariwisata hadir Niken Ari Purwanti (ASPARJO) dan Ahmad Suhaib (ASIDEWI Jombang).
Dalam forum itu, Ahmad Suhaib — yang juga Wakil Sekretaris PCNU Jombang — menyoroti bahwa RAPERDA RIPPARDA Jombang masih mengacu pada regulasi lama, yakni UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan PP Nomor 50 Tahun 2011 tentang RIPPARNAS 2010–2025, yang masa berlakunya telah berakhir tahun ini.
“Dua dasar hukum itu sudah kadaluarsa. Pemerintah pusat sedang menyiapkan UU Kepariwisataan baru dan RIPPARNAS 2025–2045. Jadi sebaiknya penetapan RAPERDA ini ditunda dulu sampai regulasi nasionalnya terbit agar tidak tumpang tindih,” tegas Suhaib.
RAPERDA ini rencananya akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPRD Jombang pada 5 November 2025, namun ASPARJO dan ASIDEWI meminta jadwal tersebut ditunda sementara waktu hingga regulasi nasional diperbarui.
Dalam rapat tersebut, kedua organisasi menyerahkan tujuh catatan kritis terhadap dokumen RIPPARDA Jombang 2025–2045:
1. Masih berorientasi industri, belum berbasis ekosistem kepariwisataan sebagaimana arah UU baru.
2. Kebudayaan masih diposisikan sebagai objek industri, bukan fondasi karakter bangsa.
3. Belum mengatur kawasan khusus pariwisata yang mendorong investasi dan pemerataan ekonomi.
4. Kurang menggambarkan keterpaduan lintas sektor, masih terfokus pada Dinas Pariwisata.
5. Belum ramah bagi penyandang disabilitas — baik sebagai pelaku maupun wisatawan.
6. Aspek mitigasi bencana belum terintegrasi dalam perencanaan pariwisata.
7. Masih menggunakan istilah dan nomenklatur lama yang tidak sesuai sistem perizinan terbaru.
Perwakilan ASPARJO, Niken Ari Purwanti, menegaskan bahwa langkah mereka bukan bentuk penolakan, melainkan permintaan penyempurnaan agar RIPPARDA benar-benar menjadi dokumen panduan 20 tahun ke depan yang matang dan relevan.
“RIPPARDA ini rencananya menjadi panduan 20 tahun ke depan. Jadi harus benar-benar sinkron dengan kebijakan nasional. Kami hanya meminta agar prosesnya tidak terburu-buru,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Komisi A DPRD Jombang menyatakan terbuka terhadap semua masukan. Anggota Komisi A dari PKB, Kartiyono, menegaskan komitmen DPRD untuk memastikan RIPPARDA tidak cacat hukum dan berpihak pada kepentingan masyarakat.
“Kami akan bahas bersama Pemkab agar RIPPARDA ini benar-benar kuat, tidak bertentangan dengan kebijakan nasional, dan bisa membawa manfaat bagi masyarakat Jombang,” ucapnya.
Sebagai pengurus NU, Suhaib menegaskan bahwa pembangunan pariwisata tidak boleh hanya berorientasi ekonomi, tetapi juga harus mengandung nilai keberkahan, kearifan lokal, dan kemaslahatan umat.
“Pariwisata yang kita bangun harus berjiwa rahmatan lil alamin, berpihak pada masyarakat, dan menjaga keseimbangan antara ekonomi, budaya, dan lingkungan,” tandasnya.
ASPARJO dan ASIDEWI menegaskan kembali harapan mereka agar Pemkab dan DPRD Jombang menunda penetapan RAPERDA RIPPARDA 2025–2045 sampai regulasi nasional baru diterbitkan.
“Kami hanya ingin memastikan arah pembangunan pariwisata Jombang ke depan berjalan di jalur yang benar — sinkron, inklusif, dan berkeadaban,” pungkas Suhaib. (Ratno)








