Oleh : RH Holil Aksan Umarzen
Pengamat Sosial, Pemerhati Haji dan Umrah Indonesia
(Anggota Tim Penyelamat PIHK Indonesia – TPPI)
ISU dugaan jual beli kuota tambahan 10.000 Jemaah Haji Khusus dalam pelaksanaan KMA Nomor 130 Tahun 2024 telah menimbulkan gejolak opini publik.
Banyak PIHK ditarik dalam pusaran tuduhan korupsi, padahal secara hukum PIHK hanyalah pelaksana kebijakan administratif pemerintah, bukan pembuat maupun pengendali kebijakan.
Jika ditelusuri lebih dalam, mekanisme pengisian kuota tambahan justru telah diatur secara resmi dan tertib dalam Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 118 Tahun 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1445 H/2024 M.
Regulasi inilah yang menjadi landasan hukum administratif dalam pelaksanaan pengisian kuota tambahan di lapangan.
Tiga Tahap Pengisian Kuota Tambahan Berdasarkan Kep Dirjen PHU No. 118 Tahun 2024
》Tahap 1 – Jemaah Pemegang Nomor Urut Porsi Hak Berangkat
Tahap pertama diarahkan untuk jemaah haji khusus yang telah memiliki nomor urut porsi hak berangkat sebagaimana tercantum dalam sistem SISKOHAT Kemenag.
PIHK hanya membantu pelaksanaan administrasi dan pelunasan sesuai urutan porsi yang telah ditetapkan pemerintah.
Artinya, jemaah yang berada dalam daftar resmi nomor urut porsi berhak berangkat terlebih dahulu, tanpa diskriminasi ataupun prioritas tambahan dari pihak mana pun.
Mekanisme ini merupakan pelaksanaan langsung dari Kep Dirjen PHU No. 118/2024, Bab II huruf A, yang menegaskan bahwa pengisian kuota tambahan harus mengacu pada nomor urut porsi hak berangkat berikutnya setelah kuota reguler terpenuhi.
》Tahap 2 – Jemaah Percepatan Porsi Berangkat
Setelah tahap pertama berjalan, masih terdapat kuota yang belum terisi karena sebagian jemaah menunda atau tidak melunasi biaya perjalanan.
Untuk menghindari pemborosan kuota, pemerintah membuka kesempatan bagi pemegang nomor porsi lain yang siap mempercepat keberangkatannya, sepanjang memenuhi seluruh persyaratan administrasi dan keuangan.
Kalangan PIHK menyebutnya sebagai “Jemaah Percepatan Porsi Berangkat” — istilah internal PIHK untuk membedakan kategori administratif percepatan, bukan terminologi resmi pemerintah.
》Tahap 3 – Jemaah T.0 (Tanpa Porsi) Siap Berangkat
Setelah dua tahap tersebut dilaksanakan, seringkali masih terdapat sisa kuota yang belum terserap.
Kep Dirjen PHU No. 118/2024 pada Bab II huruf C memberi peluang agar sisa kuota dapat diusulkan pengisiannya oleh PIHK, dengan syarat jemaah telah terdaftar, melunasi penuh biaya, dan siap berangkat secara administratif.
Dalam praktik PIHK, kelompok ini dikenal sebagai “Jemaah T.0 (Tanpa Porsi) Siap Berangkat” — yaitu calon jemaah yang tidak memiliki nomor porsi tetapi sudah siap berangkat dan ditempatkan untuk mengisi sisa kuota agar tidak hangus.
Mekanisme ini dilaksanakan untuk efisiensi dan optimalisasi kuota nasional, bukan untuk jual beli kuota.
Fakta Lapangan dan Analisis Situasional
1.PIHK Sudah Mengelola Haji Non-Kuota Sejak Lama
Banyak PIHK telah lama menyelenggarakan Haji non-kuota melalui visa Furodah, Mujamalah, dan jalur lain yang sah menurut hukum Arab Saudi.
Biaya visa haji dalam jalur tersebut berkisar USD 3.000 – 7.000.
Penting dicatat: alokasi dana pembelian visa haji non-kuota ini sama sekali tidak berkaitan dengan KMA 130 maupun program T.0.
Dana tersebut merupakan komponen biaya mandiri program Furodah / Mujamalah yang telah berjalan jauh sebelum diterbitkannya KMA 130.
2.Kuota Sisa Sebagai Solusi Aman dan Berkeadilan
Kebijakan pengisian kuota sisa sebagaimana diatur dalam Kep Dirjen PHU 118/2024 merupakan solusi legal agar kuota nasional tidak hangus.
Langkah ini memberi kepastian keberangkatan bagi jemaah siap berangkat tanpa mengganggu jemaah reguler dan memperkuat efisiensi nasional.
3.Pengalihan Jemaah Non-Kuota ke Kuota Sisa Langkah Sah dan Efisien
Sebagian jemaah non-kuota seperti Furodah atau Mujamalah yang telah terdaftar di PIHK beralih ke jalur kuota sisa T.0 karena lebih aman dan memiliki legitimasi administratif.
Langkah ini tidak melanggar hukum, bahkan menjadi solusi win-win setelah Tahap 1 dan 2 berjalan baik:
Kuota negara tidak terbuang,
Jemaah mendapat kepastian berangkat resmi,
PIHK dapat menjalankan pelayanan secara tertib.
4.Pembayaran Fee T.0 oleh Oknum Pejabat: Tekanan, Bukan Prosedur Resmi
Fakta di lapangan menunjukkan adanya pungutan atau fee T.0 oleh oknum pejabat, namun hal itu tidak diatur dalam Kep Dirjen PHU 118/2024 maupun KMA 130/2024.
Tindakan tersebut bersifat individual dan di luar sistem resmi, sering terjadi karena tekanan situasional.
PIHK yang membayar fee itu melakukannya demi memastikan keberangkatan jemaah non-porsi, bukan sebagai bagian dari transaksi jual-beli kuota.
Dengan demikian, unsur kesengajaan melawan hukum tidak terpenuhi secara substansial, sebab tindakan tersebut lahir dari kondisi darurat dan tekanan birokratis, bukan niat jahat.
Penegakan Hukum Harus Objektif dan Berkeadilan
Penegakan hukum harus memisahkan antara:
pelaku penyalahgunaan wewenang (oknum pejabat), dan pelaksana kebijakan (PIHK) yang menjalankan regulasi sah.
PIHK adalah pelaksana keputusan pemerintah, bukan perancangnya.
Menggeneralisasi seluruh PIHK sebagai pelaku korupsi adalah ketidakadilan struktural dan mengaburkan akar masalah: lemahnya tata kelola birokrasi haji.
Menegakkan Keadilan, Bukan Mencari Kambing Hitam
Apabila ditemukan penyimpangan, maka yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah oknum pejabat yang memungut fee secara melawan hukum, bukan PIHK yang patuh pada mekanisme administrasi.
“PIHK bukan pelaku korupsi, melainkan pelaksana kebijakan yang bekerja dalam sistem yang belum sempurna.”
“Saya selaku anggota TPPI tidak membenarkan penyimpangan, tetapi menegakkan kebenaran yang tertutup oleh tafsir keliru.”
Penegasan Penulis
Tulisan ini merupakan pernyataan pribadi RH Holil Aksan Umarzen,
selaku Pengamat Sosial, Pemerhati Haji dan Umrah Indonesia, serta Anggota Tim Penyelamat PIHK Indonesia (TPPI).
Tulisan ini tidak mewakili sikap resmi TPPI, melainkan analisis pribadi berdasarkan regulasi sah (Kep Dirjen PHU No. 118/2024) serta fakta lapangan yang dialami langsung oleh PIHK di seluruh Indonesia.
■
RH Holil Aksan Umarzen
Pengamat Sosial – Pemerhati Haji dan Umrah Indonesia
(Anggota Tim Penyelamat PIHK Indonesia – TPPI)
#Save PIHK Indonesia
#KPK #BPK #Kemenag#Kemenhaj
