spjnews.id | TULUNGAGUNG — Di ruang sidang yang semestinya menjadi panggung keadilan, justru tersaji fragmen ketidakhadiran yang mengusik nurani publik. Sidang ketiga mediasi perkara perusakan lingkungan hidup antara aktivis Hariyanto dari Lush Green Indonesia melawan Suryono Hadi Pranoto alias K-Cunk, UD K-Cunk Motor, Kepala Desa Nglampir, dan Kepala Desa Keboireng, kembali digelar di Pengadilan Negeri Tulungagung, Selasa (7/10/2025). Namun, alih-alih menjadi forum penyelesaian, sidang ini justru menjadi cermin retaknya tanggung jawab pejabat publik terhadap bumi yang mereka pijak.
Sidang yang dipimpin Hakim Mediator Eri Sutanto, S.H., berlangsung singkat. Bukan karena tuntasnya perkara, melainkan karena absennya tergugat IV, Kepala Desa Keboireng, tanpa alasan yang jelas. Ketidakhadiran ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan gugatan terhadap etika publik. Ketika pejabat desa mangkir dari panggilan hukum, yang tercoreng bukan hanya nama pribadi, tetapi juga martabat jabatan yang diemban.
Kuasa hukum penggugat, Irawan Sukma, S.H., menyuarakan kekecewaan yang tajam. “Ketidakhadiran ini bukan hanya memperlambat proses hukum, tetapi juga menunjukkan ketidaksiapan moral dalam menghadapi tudingan yang menyangkut masa depan lingkungan,” ujarnya. Pernyataan ini bukan sekadar kritik, melainkan seruan agar hukum tidak menjadi panggung sandiwara, melainkan medan pertarungan nilai.
Hendro Blangkon, S.H., M.Kn., menambahkan dengan nada yang lebih menusuk: “Ini bukan perkara pribadi, ini perkara publik. Kerusakan lingkungan adalah luka kolektif. Jika hukum tidak mampu menyembuhkannya, maka kita sedang menyaksikan kematian perlahan dari tanggung jawab sosial.”
Alasan Formal yang Tak Menjawab Substansi
Kuasa hukum tergugat, (Edy Gantol), berdalih bahwa kliennya tengah memenuhi panggilan Polda Jawa Timur. Surat izin telah disampaikan. Namun, dalam perkara yang menyangkut ekosistem dan kehidupan masyarakat, formalitas tidak cukup menjadi tameng. Ketidakhadiran tetaplah ketidakhadiran, dan bumi tidak menunggu surat izin untuk pulih dari luka.
Hakim Mediator Eri Sutanto memutuskan menunda sidang hingga 14 Oktober 2025. Penundaan ini bukan sekadar jeda waktu, tetapi juga peluang terakhir bagi para tergugat untuk menunjukkan bahwa mereka masih memiliki tanggung jawab terhadap bumi dan masyarakatnya.
Kasus ini bermula dari dugaan perusakan lingkungan di Desa Nglampir dan Keboireng. Namun, yang sedang diadili bukan hanya tindakan manusia terhadap alam, tetapi juga sikap manusia terhadap tanggung jawabnya. Dalam sidang ini, yang diuji bukan hanya pasal-pasal hukum, tetapi juga kedalaman nurani.
Jika hukum adalah jalan menuju keadilan, maka ketidakhadiran adalah simpangan yang menyesatkan. Dan jika pejabat publik tidak hadir untuk membela bumi, maka siapa lagi yang akan berdiri di barisan pertama saat alam menuntut balas?
( Mualimin/ SPJ News.id )