spjnews.id | TULUNGAGUNG — Di tengah gemuruh sidang perkara lingkungan hidup bernomor 86/Pdt.Sus-LH/2025/PN Tlg, satu hal menjadi terang: bahwa hukum bukan sekadar teks mati, melainkan panggilan nurani untuk membela yang lemah dan menegakkan keadilan. Gugatan Rp300 miliar yang dilayangkan oleh Komunitas Pegiat Lingkungan Lush Green Indonesia (LGI) kepada Suryono Hadi Pranoto alias K-cunk, UD K-Cunk Motor, serta dua kepala desa — Nglampir dan Keboireng — bukan sekadar angka, melainkan simbol dari luka ekologis yang tak boleh dibiarkan membusuk.
Dalam sidang kedua yang digelar pada 30 September 2025, hadir sosok K-cunk bersama dua istrinya dan puluhan pendukung. Sebuah pemandangan yang mengingatkan kita bahwa kekuasaan sosial sering kali tampil dengan gemerlap, namun belum tentu membawa kebenaran. Di sisi lain, hadir pula Kepala Desa Nglampir, seolah menegaskan bahwa perkara ini bukan hanya soal individu, tetapi menyentuh jantung pemerintahan desa.
Helmi, dari tim advokasi LGI, menyampaikan dengan tegas bahwa gugatan ini bukan urusan personal, melainkan perjuangan atas nama masyarakat Tulungagung dan negara. “Kami berdiri di atas kepentingan publik,” ujarnya, menegaskan bahwa pasal 161 dan 158 UU Minerba menjadi landasan gugatan — pasal yang menyentuh soal pengelolaan, pembelian, dan penjualan hasil tambang tanpa izin sah.
Pasal-pasal itu bukan sekadar barisan kata dalam undang-undang. Ia adalah cermin dari tanggung jawab moral negara terhadap bumi yang diinjak oleh rakyatnya. Ancaman pidana 5 tahun penjara dan denda Rp100 miliar bukan sekadar hukuman, melainkan peringatan bahwa eksploitasi tanpa izin adalah pengkhianatan terhadap masa depan anak cucu.
LSM GMBI Distrik Tulungagung, dalam semangat pembebasan ala civil society, menyatakan akan terus mengawal kasus ini hingga terang benderang. Dari perdata menuju pidana, dari gugatan menuju pelaporan, dari ruang sidang menuju ruang kesadaran publik. Karena dalam masyarakat yang sehat, hukum bukan hanya alat kekuasaan, tetapi juga suara hati yang menolak diam di hadapan ketidakadilan.
Barang bukti telah diserahkan ke Polda dan bahkan ke Mabes Polri. Langkah ini bukan sekadar prosedural, melainkan penegasan bahwa kejahatan terhadap lingkungan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dan kepada publik Tulungagung, satu pesan mengalir dari sidang ini: jangan biarkan hukum berjalan sendiri. Karena dalam demokrasi yang sejati, rakyat bukan penonton, melainkan pemilik panggung keadilan. ( Mualimin/ SPJ News.id )