JOMBANG | SPJNews.id – Aroma intervensi politik kian menyengat di Kabupaten Jombang. Forum bedah buku karya Dr. H. Ahmad Sholikhin Ruslie, SH, MH, yang semula digelar bersama Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Disperpusip) Jombang, mendadak batal. Diduga kuat, pembatalan itu bukan karena teknis, melainkan campur tangan lingkaran kekuasaan Pemkab.
Sholikhin, dosen Untag Surabaya sekaligus mantan legislator Jombang, justru merespons dengan langkah elegan. Ia menghibahkan puluhan eksemplar bukunya “Dinamika dan Problematika Kedudukan Ketetapan MPR RI” kepada DPD Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWOI) Jombang.
“Dengan bismillah, saya hibahkan buku ini untuk menambah literasi rekan-rekan IWOI. Semoga bermanfaat dalam tugas jurnalistik yang kritis dan tajam,” tegas Sholikhin di kediamannya, Desa Plandi, Jombang, saat menyerahkan buku kepada Ketua DPD IWOI Jombang, Agus Pamuji.
Turut hadir Sekretaris IWOI, Ratno Hadi Siswanto, serta jurnalis senior, Roni Brown.
Dalam kesempatan itu, Sholikhin melontarkan kritik pedas. Ia menilai jurnalis wajib berdiri tegak sebagai kekuatan kontrol.
“Pemerintah jangan sekali-kali jadi super body. Pers wajib mengawasi dan membongkar kebijakan ngawur. Pemerintah anti kritik hanya akan menciptakan keresahan publik,” lontarnya tajam.
Menurutnya, banyak kebijakan justru memicu kegaduhan karena dipaksakan tanpa berpihak kepada rakyat. “Kalau salah, cabut! Jangan dipaksakan. Pers harus hadir dengan berita faktual, akurat, kredibel, dan menggigit,” tambahnya.

Ketua DPD IWOI Jombang, Agus Pamuji, mengungkapkan kekecewaannya atas carut-marut penyelenggaraan launching dan bedah buku.
“Awalnya semua matang: tempat, jadwal, undangan. Tapi kok mendadak berubah-ubah. Peserta dipangkas, lokasi pindah-pindah, hingga akhirnya terkesan dipermainkan. Maka kami tegas: IWOI mundur!” ujar Agus, mantan wartawan Balikpapan Pos sekaligus aktivis buruh senior.
Sekretaris IWOI, Ratno Hadi, lebih keras lagi. “Ini bukan sekadar penundaan. Ada skenario agar IWOI tidak bisa melaksanakan acara. Padahal disposisi resmi sudah ada sejak Juni. Keputusan kami final: mundur!” tegasnya.
Sekretaris Disperpusip Jombang, Prince Dinda, hanya memberi jawaban normatif. “Kami bawahan, ikut arahan pimpinan,” katanya singkat.
Pernyataan ini justru menguatkan dugaan publik bahwa ada “tangan tak terlihat” dari lingkaran Pemkab yang tak nyaman dengan forum literasi kritis
Sholikhin sendiri bukan penulis baru. Ia telah menelurkan sedikitnya lima buku, termasuk Inklusif Dunia Pendidikan, yang telah beredar di toko-toko besar di Jawa Timur.
“Kalau pemerintah alergi literasi, biarlah rakyat yang merawatnya,” tutup Sholikhin dengan senyum sinis.
Kini, IWOI Jombang bertekad mencari mitra baru LSM, NGO, maupun swasta untuk melanjutkan agenda literasi kritis. Pesan jelasnya: literasi tidak boleh dibungkam oleh kekuasaan.
Langkah Pemkab yang diduga mengintervensi forum literasi ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya:
Pasal 4 ayat (2): “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.”
Pasal 4 ayat (3): “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Jika benar ada intervensi kekuasaan, maka hal ini bisa dikategorikan sebagai bentuk pembatasan kebebasan pers dan bertentangan dengan konstitusi. (*)