JOMBANG | SPJNews.id – Keputusan Bupati Jombang, Abah Warsubi, untuk absen dalam acara Rijalul Ansor yang dihadiri Ketua PCNU Jombang, menuai gelombang tafsir politik. Publik membaca, ini bukan sekadar soal jadwal berbenturan, melainkan sinyal serius mulai renggangnya hubungan kekuasaan lokal dengan kultur NU—dua kekuatan besar yang selama ini menjadi penopang legitimasi di Kota Santri.
Alih-alih hadir di forum religius penuh makna kebersamaan, Abah Warsubi justru memilih melakukan patroli Harkamtibmas. Sikap ini dinilai akademisi sebagai gestur kepemimpinan teknokratik yang dingin, jauh dari pendekatan kultural yang diwariskan para pendahulu.
“Rijalul Ansor bukan forum pinggiran, melainkan ruang sakral untuk memperkuat ikatan dengan para kiai dan jamaah. Ketika seorang bupati absen tanpa penjelasan yang komunikatif, publik wajar membaca ada jarak politik,” tegas Ahmad Hasan Afandi, akademisi FISIP Universitas Islam Mojopahit, Minggu (7/9).
Hasan mengingatkan, absennya bupati bisa menjadi tanda pelemahan legitimasi kultural NU. “Dalam kultur Jombang yang kental tradisi pesantren, sikap ini bisa dibaca sebagai pelemahan simbolik. Jika berlanjut, ini awal ketegangan serius antara kekuasaan dan kultur NU,” ujarnya.
Lebih jauh, Hasan menilai GP Ansor dan PCNU perlu melakukan evaluasi strategis. Apakah selama ini relasi dengan pemerintah daerah hanya seremonial? Apakah komunikasi politik dengan kekuasaan sudah benar-benar terputus?
“Seharusnya Bupati bisa menunjuk Wakilnya, yang notabene mantan Ketua PCNU. Tetapi yang dikirim justru hanya asisten. Ini sinyal kuat—ada yang sedang berubah,” pungkasnya. (Rat/*)