spjnews.id | LAMONGAN — Di sebuah sudut desa yang tenang, di Mayong Sidomlangean, Kedungpring, Lamongan, langit malam seolah membuka tabirnya. Di bawah cahaya lampu yang bersahaja, 700 jamaah berkumpul di hall Pesantren Krapyak. Mereka tidak datang untuk sekadar menghadiri acara. Mereka datang untuk menyatu dalam satu getaran batin: cinta kepada Rasulullah Muhammad ﷺ. ( Saptu 06/09/2025 ).
Dari Sambiroto, Nduwel, Mlangean, Blawi, Dungpri, Cumpleng, Dengkeng, hingga Dungbulu, masyarakat berduyun-duyun hadir. Tidak ada undangan resmi, tidak ada protokol mewah. Yang ada hanyalah panggilan hati. Dan hati, bila sudah terpaut pada Nabi, akan berjalan tanpa ragu.
Acara yang diberi tajuk Mayong Bersholawat ini bukan sekadar peringatan Maulid. Ia adalah peristiwa spiritual. Sebuah momentum di mana manusia, dalam kesederhanaannya, mencoba mendekat kepada cahaya kenabian. Seperti kata Kang Imam Suyuti, sekretaris pesantren, “Peringatan ini untuk meneladani Gusti Kanjeng Nabi sepanjang hayat.” Kalimat yang sederhana, namun mengandung kedalaman seperti samudra. Ia mengingatkan kita bahwa cinta kepada Nabi bukanlah ritual tahunan, melainkan jalan hidup yang terus mengalir.
KH. Nashir Mansur Idris dari Jakarta, murid Abuya Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki Al Hasani, hadir sebagai munsyid. Ia tidak datang membawa ceramah panjang. Ia datang membawa nada. Nada Hijaz yang menggetarkan dada. Sholawat yang tidak hanya terdengar, tapi terasa. Air mata pun turun, bukan karena sedih, tapi karena rindu. Rindu kepada sosok yang menjadi rahmat bagi semesta.
KH. Imam Mawardi Ridlwan, pengasuh pesantren, hanya berkata lirih: “Keselamatan kita tergantung seberapa kuat mahabbah kita pada pemberi syafa’at.” Kalimat itu tidak perlu ditafsirkan. Ia langsung masuk ke relung jiwa. Seolah Nabi sedang duduk di tengah-tengah kita, tersenyum, dan berkata: “Aku rindu kalian.”
Habib Ubaidillah Al Habsy dari Surabaya menyampaikan taujih yang jernih. Ia tidak bicara tentang dunia yang gaduh. Ia bicara tentang keutamaan Nabi. Tentang bagaimana cinta kepada Rasul bukan sekadar slogan, tapi jalan hidup. Jalan yang sunyi, tapi penuh cahaya.
Mbah Guru Katjung Pramono, Ketua Umum Yayasan Pendidikan dan Sosial Bani Kyai Tasir Mayong, menegaskan bahwa acara ini adalah hasil gotong royong masyarakat, pengurus pesantren, dan panitia yang dikomandani Pak Kasun Mas’ud. Sebuah kerja kolektif yang lahir dari cinta, bukan dari ambisi.
Dan mungkin, di antara jamaah yang hadir malam itu, ada seorang anak kecil yang kelak menjadi ulama besar. Atau seorang ibu yang pulang dengan hati yang lebih tenang. Atau seorang santri yang malam itu memutuskan untuk istiqamah. Semua karena satu nama: Sayyidina Muhammad ﷺ.
Dalam suasana seperti itu, kita belajar bahwa cinta kepada Nabi bukanlah nostalgia. Ia adalah energi yang menggerakkan. Ia adalah cahaya yang menuntun. Dan di Mayong malam itu, cinta itu menyatu. Menjadi irama langit yang turun ke bumi. ( Mualimin/ SPJ News.id )










