spjnews.id | TULUNGAGUNG —Dalam sebuah surat edaran resmi bertanggal 28 Agustus 2025, Pemerintah Desa Suruhan Lor, Kecamatan Bandung, Kabupaten Tulungagung, menginstruksikan seluruh warganya untuk menghadiri acara Bersih Desa pada 1 September mendatang. Namun bukan dengan semarak pesta rakyat atau pertunjukan budaya seperti lazimnya desa-desa lain di Jawa Timur. Warga diminta membawa nasi bungkus sendiri, tikar sendiri, dan duduk beralas tanah lapang yang belum tentu kering dari hujan.
Sungguh ironis. Di tengah semangat syukur yang seharusnya menjadi momentum kebersamaan dan penghormatan terhadap tradisi, justru terselip rasa getir yang tak bisa disembunyikan. Seorang warga, Paiman (nama samaran), meluapkan kekesalannya:
“Masak acara PHBN dan Bersih Desa suruh bawa makanan sendiri, tikar sendiri, padahal musim hujan. Otaknya panitia ini di mana?”
Paiman bukan sekadar mengeluh. Ia mewakili suara hati masyarakat yang merasa diperlakukan bukan sebagai subjek pembangunan, melainkan objek pelengkap penderita. Di saat desa-desa lain menggelar wayang kulit semalam suntuk, bazar UMKM, dan pertunjukan rakyat, Suruhan Lor justru tampil seperti desa termiskin di kabupaten ini. Padahal, ironisnya, istri Bupati berasal dari desa ini. Wakil rakyat pun tak hanya satu berasal dari sini.
Pertanyaan yang menggantung di udara: di mana Dana Desa? Di mana PAD? Di mana keberpihakan terhadap martabat warga? Apakah syukur harus dibayar dengan pengorbanan yang tak berimbang?
Surat edaran itu menyebut akan ada hiburan musik balasik atau gambus. Tapi apakah alunan musik bisa menutupi rasa malu dan kecewa warga yang harus membawa bekal sendiri ke acara yang seharusnya menjadi milik bersama?
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Desa Suruhan Lor belum bisa dikonfirmasi. Telepon tak dijawab, sekretaris desa pun bungkam. Seolah diam menjadi pilihan terbaik di tengah badai kritik.
Demokrasi bukan sekadar prosedur, melainkan perwujudan etika publik. Ketika pemerintah desa gagal memahami makna syukur sebagai ekspresi kolektif yang bermartabat, maka yang tersisa hanyalah seremoni kosong. Tikar dan nasi bungkus bukan sekadar benda, tapi simbol dari ketidakadilan struktural yang menyamar dalam nama tradisi.
“Modernisasi tanpa kesadaran akan nilai-nilai spiritual dan sosial hanyalah imitasi dari kemajuan Dan barangkali, Suruhan Lor sedang berada di persimpangan imitasi itu.
( Mualimin/ SPJ News.id )








