spjnews.id | TULUNGAGUNG — Di kaki Gunung Narang, di tanah yang masih menyimpan aroma kesederhanaan dan semangat gotong royong, warga Dukuh Klatak, Dusun Soireng, Desa Kebo Ireng, Kecamatan Besuki, kabupaten Tulungagung, provinsi Jawa Timur. bersatu dalam satu suara: menolak tambang emas. Namun, suara rakyat yang seharusnya menjadi kompas kebijakan justru dibelokkan oleh kepala desa sendiri, Supirin, yang malah mendatangkan ahli tambang dari luar kota.
( Senin 11/08/2025 ).

⛏️ Tambang Emas: Kilau yang Menyilaukan Nurani
Alih-alih mendengar suara rakyat, Supirin justru membuka pintu bagi para ahli tambang dari Banyuwangi dan Malang untuk “mengambil sampel” dan “memastikan kandungan emas” di lereng Gunung Narang. Ia berdalih bahwa lubang selebar 80 cm tidak akan merusak lingkungan. Pernyataan yang terdengar teknis, namun mengabaikan dimensi etis dan sosial dari sebuah tindakan eksplorasi.

Apakah tanah leluhur bisa begitu saja dilubangi atas nama potensi emas? Apakah suara rakyat bisa diredam oleh kilau mineral yang belum tentu membawa kesejahteraan?
🗣️ Rakyat Bicara, Pemimpin Membisu
Warga Desa Kebo Ireng tidak menolak kemajuan. Mereka menolak eksploitasi. Mereka menolak menjadi penonton di tanah sendiri, yang justru dikhawatirkan oleh warga akan dampak lingkungan hidup nya mengingat gunung Narang merupakan Sumber penghidupan dan sumber mata air Dusun Soireng Desa Keboireng Dan Desa Sedayu Gunung Kecamatan Besuki. Ironisnya, kekhawatiran itu oleh Kades Keboireng dijadikan dalih untuk membuka pintu tambang, bukan untuk memperkuat kedaulatan warga atas tanah mereka dan Kehidupan untuk masa mendatang.

Dalam pandangan Asep Yumarwoko, ST, MM Ketua LSM GMBI Distrik Tulungagung yang ikut dalam investigasi dilapangan menyampaikan “, demokrasi bukan sekadar prosedur, melainkan penghormatan terhadap martabat manusia. Maka, ketika kepala desa lebih memilih mendengar suara ahli dari luar kota ketimbang jeritan warga yang tinggal di bawah bayang-bayang lereng gunung, itu bukan sekadar salah langkah. Itu adalah pengkhianatan terhadap prinsip dasar kepemimpinan.
Sangat ironis seluruh warga Keboireng dan Sedayu Gunung memasang Papan peringatan Menolak penambangan namun Kades Keboireng justru Melakukan Eksplorasi.
Kalau memang Ingin melakukan Penambangan Harusnya melaui Mekanisme dan perijinan yang di tentukan oleh Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku.
🌱 Tanah yang Dijaga, Bukan Dijual
Gunung Narang bukan sekadar lahan. Ia adalah penanda sejarah, ruang hidup, dan sumber harapan. Menjadikannya objek eksplorasi tanpa konsensus warga adalah bentuk kolonisasi baru—di mana kepentingan ekonomi menginjak-injak hak ekologis dan sosial masyarakat lokal.
Sejarah telah mengajarkan bahwa tambang emas sering kali membawa lebih banyak luka daripada cahaya. Dari Papua hingga Kalimantan, dari Freeport hingga tambang rakyat, yang tersisa bukan kemakmuran, melainkan kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan hilangnya kedaulatan lokal.
Kepala desa bukanlah pemilik tanah. Ia adalah pelayan rakyat. Maka, ketika ia lebih memilih mendatangkan ahli tambang daripada mendengar suara warganya, ia telah melangkah keluar dari rel etika kepemimpinan.
Jika emas benar-benar ada di Gunung Narang, maka biarlah rakyat yang memutuskan bagaimana mereka ingin hidup di atasnya. Bukan ditentukan oleh mereka yang hanya melihat tanah sebagai komoditas, bukan sebagai warisan budaya dan ruang hidup. ( Mualimin/ SPJ News.id )








