JOMBANG | SPJNEWS.ID – Tidak banyak yang mengetahui bahwa di balik lahirnya wadah resmi pencak silat Nahdlatul Ulama (NU) yang kini dikenal sebagai Pagar Nusa, terdapat sosok visioner yang membidani kelahirannya: KH Muhammad Lamro Asy’ari. Putra asli Ponorogo ini tak hanya dikenal sebagai santri teladan di Tebuireng era 1980-an, tetapi juga sebagai penggerak utama lahirnya Perguruan Nurul Huda Perkasa (NH Perkasa), yang menjadi cikal bakal gerakan pencak silat santri di pesantren.
Dari Kekacauan Latihan Silat ke Sebuah Gagasan Besar
Segalanya bermula dari keresahan. Kala itu, para santri dari berbagai daerah seperti Jakarta, Madura, dan Ponorogo membawa serta tradisi silatnya masing-masing. Mereka berlatih secara terpisah, tanpa koordinasi, dan sering kali menimbulkan ketegangan antar kelompok—bahkan mengganggu ketertiban pondok.
“Banyak yang latihan malam hari, di saat seharusnya mereka mengaji. Bahkan kadang terjadi gesekan antarsantri,” kenang KH Lamro.
Berangkat dari keprihatinan itulah, KH Lamro dan beberapa senior lainnya menghadap KH Yusus Hasyim—pengasuh Tebuireng kala itu—memohon agar kegiatan pencak silat bisa dikoordinir secara resmi oleh pesantren. KH Yusuf merestui. Maka lahirlah inisiatif membentuk sebuah perguruan resmi.
Nama “NH Perkasya” dari Mimpi dan Doa Para Kiai
Nama Nurul Huda ternyata bukan hasil rapat biasa. KH Lamro dan para perintis sowan ke KH Syamsuri Zen—ulama karismatik santri dekat KH Kholiq Hasyim. Setelah melalui istikharah selama sepekan, KH Syamsuri Zen menyampaikan bahwa dalam mimpinya, ia menerima petunjuk nama “Nurul Huda”. Nama itu diyakini akan menjadi mercusuar pencak silat santri di kemudian hari.
Sementara itu, nama “Perkasya” berasal dari pengalaman pribadi KH Lamro yang pernah mengikuti perguruan silat Batara Perkasa di Ponorogo. Kata “Perkasya” kemudian dimaknai ulang sebagai akronim: “Pertahanan Kalimat Syahadat”.
NH Perkasya pun resmi berdiri pada 2 November 1982, dan menjadi pelopor silat santri yang tertib, terorganisir, dan mengakar pada nilai-nilai pesantren.
Cikal Bakal Pagar Nusa: Rapat di Tebuireng, Diputuskan di Lirboyo
Namun perjuangan KH Lamro tak berhenti di situ. Ia menyadari perlunya wadah yang lebih luas untuk mengintegrasikan berbagai perguruan silat di lingkungan Nahdlatul Ulama. Maka digagaslah pertemuan besar pendekar NU se-Jawa Timur yang dilangsungkan di Tebuireng pada 27 September 1985.
Pertemuan itu dihadiri oleh para tokoh besar, termasuk:
KH Yusuf Hasyim (Tebuireng),
KH Syamsuri Badawi,
KH Abdurrahman Usman,
KH Atho’illah Iskandar (IPSI),
dan tentu saja, KH Maksum Jauhari dari Lirboyo.
Dan tokoh atau pendekar dari pelbagai pondok pesantren di Jawa timur.
Dalam rapat itulah disepakati dibentuknya wadah resmi pencak silat NU yang kemudian diberi nama Pagar Nusa (Pagarnya Nahdlatul Ulama dan Bangsa). Gus Maksum ditetapkan sebagai Ketua Umum, dan KH Lamro Asy’ari dipercaya sebagai Sekretaris I.
Rapat lanjutan dilaksanakan di Pondok Pesantren Lirboyo untuk menyusun struktur organisasi secara lengkap dan final.
Warisan untuk Umat dan Santri
Kini, Pagar Nusa telah menjelma menjadi organisasi pencak silat terbesar di kalangan pesantren dan menjadi bagian penting dari badan otonom NU. Namun tidak banyak yang tahu, bahwa ide besar itu muncul dari ruang kecil di Tebuireng—dari keresahan seorang santri muda bernama Muhammad Lamro Asy’ari.
Ia bukan sekadar pendiri, tapi pejuang dakwah sejati—yang menyalurkan nilai-nilai Islam melalui jalan silat, disiplin, dan ukhuwah.
“Nurul Huda itu cahaya petunjuk. Dan silat itu wasilah untuk memperkuat keimanan dan mempertahankan marwah santri,” pungkasnya dalam sebuah pertemuan penuh kehangatan. (Ratno)








