Oleh: H. Ikhsan Effendi
WakilKetua Syuriah DPP NAAT
MALANG | SPJNEWS.ID – Di tengah perjalanan waktu menuju Indonesia Emas 2045, geliat peradaban walisongo kian menjadi perhatian. Mereka tak lagi hanya dikenang dalam sejarah, namun kini mulai tampil sebagai agen perubahan dalam dakwah, pendidikan, budaya, hingga ekonomi.
Fenomena ini bukan tanpa alasan. Walisongo adalah sembilan ulama besar yang menjadi pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa dengan pendekatan damai dan kebudayaan lokal. Warisan ajaran Islam yang ramah dan kontekstual mereka terus dirawat oleh masyarakat.
“Walisongo membangun fondasi dakwah, pendidikan, dan sosial politik berbasis akhlak. Maka masyarakat pribumi punya tanggung jawab moral dan historis untuk menjaga nilai itu,” ujar Dr. Zainul Milal Bizawie, peneliti sejarah pesantren.
Kini, mulai terungkap banyak keturunan Walisongo yang telah tampil disemua sektor pendidikan dan pemerintahan. Di ranah keagamaan, tokoh seperti KH Yahya Cholil Staquf, Ketum PBNU, dikenal sebagai dzurriyah Sunan Kudus. Demikian juga KH Miftachul Akhyar yang berasal dari trah ulama besar Jawa Timur. Keluarga Pondok Pondok pesantren dikenal luas sebagai dzurriyah Walisongo yang membawa nilai-nilai tasawuf kebangsaan.
Selain itu, generasi muda seperti Gus Baha’, Gus Kautsar, dan Ning Imaz, menunjukkan bahwa nasab tidak berhenti pada kehormatan, tapi juga menjadi panggilan untuk memperkuat keilmuan dan pelayanan umat.
Menurut KH Abdurrahman Navis, Ketua LBM PWNU Jawa Timur sekaligus pakar nasab, nasab dzurriyah bukan untuk disombongkan. “Nasab itu amanah. Jika tidak dibarengi ilmu dan ketakwaan, maka ia bisa menjadi fitnah,” katanya.
Ia juga menyoroti fenomena klaim nasab yang tidak berdasar. “Sekarang banyak yang mengaku dzurriyah Walisongo tapi tidak punya sanad atau silsilah yang jelas. Ini bisa membahayakan kepercayaan masyarakat,” tambahnya.
Kebangkitan walisongo juga menyentuh sektor publik lainnya. Beberapa tokoh politik nasional dan daerah diketahui berasal dari keluarga besar pesantren yang punya garis keturunan ulama. Mereka membawa misi Islam moderat dalam kerja-kerja kenegaraan. Hal ini memperkuat harapan akan hadirnya sosok negarawan yang berakar pada nilai-nilai keagamaan dan budaya lokal.
Namun demikian, para dzurriyah juga menghadapi tantangan besar. Di era digital dan arus globalisasi yang kuat, mereka harus mampu menyesuaikan cara berdakwah dan membina umat. “Mereka tidak boleh hanya mengandalkan nama besar, tapi juga harus adaptif, terbuka, dan menguasai teknologi,” ujar sosiolog UIN Jakarta, almarhum Prof. Dr. Azyumardi Azra dalam salah satu wawancara terdahulu.
Melalui pendekatan dakwah damai, penguatan pesantren, serta keteladanan sosial, para dzurriyah berpotensi menjadi pilar moral menuju visi Indonesia Emas.
“Islam Nusantara yang diwariskan Walisongo adalah modal peradaban. Kita butuh dzurriyah yang bukan hanya bisa membaca kitab kuning, tapi juga membaca tantangan zaman,” ujar Ahmad Baso, penulis buku Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh hingga Konstitusi.
Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
Ayat ini menjadi pengingat bahwa kemuliaan tidak hanya berasal dari garis keturunan, tetapi dari keilmuan, akhlak, dan peran nyata di tengah masyarakat.
Masyarakat kini berharap bahwa peradaban Walisongo tidak hanya menjaga sejarah, tetapi juga hadir sebagai penuntun umat di tengah krisis identitas, dekadensi moral, dan tantangan modernitas.
Mereka yang membawa warisan darah para wali, kini tengah diuji untuk benar-benar menjadi penerus misi kenabian: rahmatan lil alamin. Jika mampu menjawab tantangan zaman dengan bijak, maka kebangkitan dzurriyah Walisongo akan menjadi cahaya dalam perjalanan menuju Indonesia Emas yang adil, damai, dan berperadaban. (Ratno)








