spjnews.id | Tulungagung, — Dalam ruang yang mestinya menjadi saksi percakapan akal dan nurani—ruang aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tulungagung—tercium aroma keganjilan yang menguap dari tumpukan dokumen anggaran. Bukan aroma tinta atau kertas tua, melainkan aroma yang mengusik hati publik: dugaan korupsi di Dinas Pendidikan, terkait tak tersalurkannya BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah Daerah) dari kas (APBD.30 Juni 2025).
Hearing yang digelar siang itu bukan sekadar forum administratif. Ia menjelma menjadi forum pertanggungjawaban moral. Hadir di sana Plt Sekretaris Dinas Pendidikan, pejabat Bappeda dan Inspektorat, serta perwakilan masyarakat sipil dari PKTP, BADAK, dan LSM Cakra—yang tak sekadar duduk, melainkan membawa nyala pertanyaan dan secercah harapan untuk transparansi.
Ketua PKTP, Susetyo Nugroho, menyodorkan dokumen RAPBD-P 2024 dan mengungkapkan ketidaksinkronan yang mencolok antara dana BOS pusat dan yang tercantum dalam APBD-P. Ia juga menyoroti perbedaan perlakuan antara sekolah negeri dan swasta serta adanya sisa dana BOSDA yang tak terjelaskan.
> “Sangat jelas adanya indikasi duplikasi anggaran yang mendompleng BOS pusat lewat APBD. Lebih menyakitkan, dana yang dikelola sekolah hanya berasal dari pusat, bukan daerah. Ini membuka celah kecurigaan akan terjadinya mega korupsi,” ucapnya lantang.
Pernyataan itu seperti mengetuk pintu nurani publik. Seolah-olah pendidikan yang semestinya menjadi taman keadaban dan harapan generasi, kini menjadi ladang tak bertuan yang disusupi kepentingan.
Plt Sekretaris Dinas Pendidikan, Endra Kusriawan, hanya memberi respons singkat: Dinas akan memberikan penjelasan dalam waktu satu minggu.
Namun waktu satu minggu tidak menangguhkan luka. Ia hanya menangguhkan kejelasan. Ketika publik telah lama menahan nafas menanti kejujuran, penundaan berarti memperpanjang duka.
Di tengah derasnya tuntutan efisiensi, akuntabilitas, dan kejujuran, kasus ini menyadarkan kita bahwa transparansi bukan sekadar teknis administratif—ia adalah kesadaran etis. Bila anggaran pendidikan dapat dengan mudah “tersesat” di meja birokrasi, maka yang patut kita tanyakan bukan hanya siapa pelakunya, tetapi siapa yang telah membiarkan nurani publik dibungkam dalam diam.
( Mualimin/ SPJ News.id )









