JOMBANG | SPJNEWS.ID – Kebahagiaan, Poniti, seorang janda renta berusia 60 tahun asal Desa Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang, setelah memastikan tempat tinggalnya yang tak layak itu di bongkar untuk dibangun kembali tampaknya hanya sesaat, Poniti hanya bisa menatap kosong hamparan bata dan pasir yang tak kunjung berubah menjadi atap perlindungan.
Tiga pekan berlalu sejak kunjungan rombongan pejabat Kabupaten Jombang yang dipimpin langsung oleh Bupati H Warsubi ke rumahnya yang nyaris roboh. Rumah semi permanen yang sebelumnya berdiri dari tiang bambu lapuk, dinding anyaman bambu bolong di sana-sini, serta atap bocor yang ditambal plastik, telah dibongkar. Namun bangunan baru yang dijanjikan segera berdiri, kini justru terbengkalai hanya pondasi dan dinding polos yang berdiri tanpa atap, plafon, lantai, maupun jendela.
“Bapak lihat sendiri, baru pondasi dan tembok yang berdiri. Atap belum, kusen pintu belum. Saya sampai utang buat beli besi. Ongkos tukang juga saya bayar sendiri, sehari tukang Rp140 ribu, kuli Rp120 ribu,” ujar Poniti saat ditemui SPJNEWS.ID, Selasa (1/7/2025). Ia berbicara dengan wajah lelah, duduk bersandar di serambi rumah kontrakan yang kini ia tempati sementara bersama empat anak dan cucunya.
Perempuan yang telah bertahun-tahun menggantungkan hidup dari buruh tani musiman ini mengaku kebingungan. Bantuan dari pemerintah desa hanya datang sekali dalam bentuk material: pasir satu rit, bata ringan empat kubik, dan 21 sak semen. Total nilainya sekitar Rp5 juta. Jumlah itu jauh dari cukup untuk menuntaskan pembangunan sebuah rumah layak huni.
Kisah Poniti mengundang simpati publik sejak viral di media sosial dan diliput sejumlah media lokal. Rumahnya yang nyaris roboh, berlantai tanah, dapur menyatu dengan ruang tidur tanpa sekat, serta dinding bolong diterpa angin dan hujan, menjadi simbol kemiskinan ekstrem yang selama ini tersembunyi di balik angka-angka statistik.
Kabar tersebut memicu reaksi cepat. Pada Kamis (19/6/2025), Bupati Jombang H Warsubi, Wakil Bupati Gus Salman, Sekda Agus Purnomo, Ketua DPRD Hadi Atmaji, hingga aparat Polres Jombang mendatangi lokasi. Camat Jogoroto dan Kepala Desa Sumbermulyo pun ikut hadir. Rombongan pejabat itu berdiri di depan rumah reyot Poniti, melihat langsung kondisi mengenaskan yang selama ini tak tersentuh program bantuan perumahan.

Saat itu, janji dilontarkan: rumah Poniti akan dibangun ulang secara layak dan segera. Namun waktu berkata lain. Setelah ramai disorot media, pembangunan justru stagnan. Bahkan, kata Poniti, tak ada satu pun perangkat desa yang datang kembali untuk mengecek progresnya.
“Sejak dibongkar sampai sekarang, tak ada satu pun dari desa yang datang ke sini. Padahal saya ini warganya,” ucapnya lirih.
Masalah tak berhenti di lambannya pembangunan. Warga sekitar menyayangkan proses bantuan yang tidak sistematis dan minim pendampingan. Pembangunan dilakukan seperti proyek gotong royong, tanpa pengawasan teknis, tanpa manajemen anggaran yang jelas.

Salah seorang kerabat Poniti yang ikut membantu di lokasi menyebutkan, keluarga Poniti akhirnya harus menalangi sendiri biaya tambahan pembangunan. “Kalau begini terus, kami takut ini rumah tidak selesai. Padahal Pak Bupati sudah datang sendiri,” ujarnya.
Selama ini, Poniti hanya mengandalkan pekerjaan serabutan sebagai buruh tani jika ada musim tanam atau panen. Selebihnya, ia hidup dari bantuan tetangga dan BLT pemerintah yang masuk ke rekening melalui ATM Merah Putih. Tapi untuk membangun rumah? Tak cukup.
Tim SPJNEWS.ID mencoba mengonfirmasi progres pembangunan kepada Pemerintah Desa Sumbermulyo. Namun saat mendatangi kantor desa pada hari yang sama, Kepala Desa dan staf kesejahteraan rakyat (kesra) tidak berada di tempat. “Pak Kades keluar. Bagian Kesra juga tidak ada. Saya tidak punya wewenang memberikan keterangan soal Bu Poniti,” ujar seorang staf di kantor desa.
Minimnya koordinasi antar level pemerintahan juga menjadi sorotan. Bupati yang telah menginstruksikan agar rumah Poniti dibangun segera tampaknya tak mendapat laporan progres dari tingkat kecamatan atau desa. Tidak jelas pula apakah ada alokasi anggaran dari Pemkab, atau seluruh beban pembangunan diserahkan ke pihak desa dan swadaya warga.
Sementara itu, Poniti dan keluarganya harus bertahan di rumah kontrakan kecil di seberang jalan rumah lama mereka. Setiap hari, ia melewati tumpukan pasir dan bata yang dulu menjadi titik harapan baru, namun kini justru menjadi simbol harapan yang tertunda.
“Saya nggak tahu harus bagaimana lagi. Kalau nggak ada bantuan tambahan, rumah itu nggak akan selesai,” ucapnya, menatap bangunan setengah jadi di seberang jalan.
Kini, semua mata kembali tertuju pada Pemerintah Kabupaten Jombang. Akankah janji yang sudah diucapkan di depan rakyat ditunaikan sepenuh hati? Atau Poniti harus kembali menelan pil pahit bahwa kadang, kehadiran pejabat hanyalah seremonial belaka? (Ratno)








