spjnews.id | Tulungagung – Tidak ada yang lebih menyakitkan dari luka yang ditorehkan oleh tangan yang seharusnya melindungi. Seperti halnya luka yang kini kembali bernanah di tubuh birokrasi desa, kasus dugaan korupsi Dana Desa (DD) di Desa Tanggung, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Propinsi Jawa Timur, menjadi potret getir bahwa kepercayaan rakyat terhadap pengelolaan anggaran publik sedang menghadapi ujian paling pahit. ( Sabtu, 21 Juni 2025 )
Kejaksaan Negeri Tulungagung menyebutkan bahwa pengusutan terus berlanjut. Sudah tiga puluh saksi diperiksa, dan publik hanya bisa menunggu hasil audit Inspektorat Kabupaten—sebuah penantian yang memuat cemas dan getir. “Jika hasil perhitungan kerugian negara sudah keluar, penyidik akan ekspose perkara untuk menetapkan tersangka,” ujar Kasi Intelijen Kejari, Amri Rahmanto Sayekti. pada Selasa ( 17/06/2025 )
Namun, pertanyaan rakyat tetap menggantung di udara: mengapa harus menunggu ketika kerusakan sudah nyata?
Desa: Lumbung Harapan yang Kini Retak
Desa seharusnya menjadi pangkal kehidupan, tempat tumbuhnya harapan dalam raut anak-anak yang belajar dan para petani yang membajak. Tapi enam kepala desa di Tulungagung sepanjang 2024 justru terseret kasus korupsi. Dari utang pribadi yang ditutup dengan dana bantuan keuangan, hingga proyek fiktif dan aset desa yang disulap menjadi ladang kekayaan segelintir orang—semuanya merobek nilai-nilai dasar kepercayaan.
Perkara di Desa Tanggung menambah daftar panjang kekecewaan publik. Indikasi penyimpangan proyek pavingisasi, irigasi, hingga renovasi gedung TK bukan hanya soal angka, melainkan soal nurani yang dikhianati. Ketika perangkat desa justru menjadi pelaksana proyek yang harusnya diawasi, maka hilanglah batas antara kepentingan publik dan hasrat personal.
Dari Kejadian Menuju Kesadaran
Apa artinya penindakan tanpa pembersihan sistemik? Penegakan hukum tidak boleh berhenti pada angka kerugian, tapi harus menembus ke akar budaya oportunisme yang menjalar. Sudah saatnya inspektorat tidak sekadar menjadi penghitung kerugian, tapi menjadi penjaga moralitas publik.
Dan rakyat, tak boleh sekadar menjadi penonton marah di tepi gelanggang. Suara-suara mereka—yang menuntut keadilan dan transparansi—harus menjadi gema yang mengguncang ruang-ruang kekuasaan di balik meja birokrasi.
“Negara hanyalah alat, bukan tujuan.” Maka desa pun bukan tempat mencari kuasa, tetapi ladang amal bagi kemanusiaan dan tanggung jawab. ( Mualimin/ SPJ News.id )








