spjnews.id | Tulungagung – Di tanah yang bernama Bumi Ngrowo, di mana gemericik sungai dan rimbun hutan menggambar harmoni alam, justru kekuasaan tampak kehilangan suara hati. Tulungagung adalah anugerah geografis dan ekologi, namun ironisnya, kekayaan yang melimpah itu seakan-akan hanya menjadi hiasan bisu dalam bingkai pemerintahan yang gagap bertindak. (Jumat 20 Juni 2025)
Dalam pandangan Suwandi, seorang pengamat politik yang tak henti menggelitik nalar publik, Kadipaten Bumi Ngrowo mengalami krisis bukan karena musuh di luar pagar, tetapi karena kelambanan dalam rumah tangga kekuasaan sendiri. “Ketika pemerintah tak tegas dalam menjalankan mandatnya, maka yang tumbuh bukanlah harapan, melainkan abu dari janji-janji yang dibakar waktu,” ujar Suwandi dalam satu pernyataan yang menggugah.
Ia mengkritik ketidaktegasan dalam penegakan peraturan, lemahnya pelindungan terhadap ruang hidup rakyat, dan absennya keberanian moral dalam menyuarakan yang benar. “Kekuasaan sejatinya bukanlah hak, tetapi amanah. Dan amanah yang dilalaikan, akan berubah menjadi kehinaan,” sambungnya.
Pemerintahan, lanjutnya, sering terjebak dalam paradoks: ingin disebut pro-rakyat, namun abai saat rakyat menjerit karena tambang liar, alih fungsi lahan, atau kekosongan kebijakan lingkungan. Bumi Ngrowo bukan tanah sunyi, tetapi suara-suara dari petani, nelayan, dan anak-anak sekolah yang terpaksa belajar di bawah bayang-bayang pembangunan tak berpihak.
Suwandi menutup pandangannya dengan nada tajam namun penuh cinta tanah air: “Kita tidak memerlukan penguasa yang pintar merancang proyek, tetapi pemimpin yang jujur melihat penderitaan. Karena sungai tak perlu dijelaskan keberadaannya oleh peta; ia mengalir karena ada kejujuran alam. Begitulah seharusnya kekuasaan—mengalir karena kebijaksanaan.”
( Mualimin/ SPJ News.id )