spjnews.id | Tulungagung— Sungguh ironis nasib masyarakat kecil yang setiap hari berjibaku dengan kerasnya kehidupan. Di tengah efisiensi anggaran dan sulitnya mencari pekerjaan, warga Dusun Pedan, Desa Sambirobyong, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, harus menghadapi persoalan yang menguji rasa keadilan: denda yang tiba-tiba dijatuhkan oleh PLN Tulungagung sebesar Rp. 1.300.000. Tuduhan? Kabel berlubang—sesuatu yang mereka klaim tak pernah mereka lakukan.
Saderi dan Ali, ahli waris Tawar, mengungkapkan kekecewaan mereka. “Kami tidak pernah menyentuh kabel listrik atau memodifikasi spedometer. Tiba-tiba saja, pada tanggal 27 Mei 2025, surat denda itu datang,” ujar Saderi dengan nada getir.
Keganjilan ini tak hanya dialami oleh satu warga. Di Dusun Sidorejo, Desa Gendingan, Kecamatan Kedungwaru, warga lain juga dikenakan denda lebih dari satu juta rupiah. Bahkan, sistem pembayaran yang ditawarkan bisa dicicil—seolah-olah hukuman ini sudah menjadi ‘rutinitas’ yang diakomodasi. Bahkan mengaku hanya memiliki uang Rp. 20 ribu saja waktu di kantor PLN Tulungagung, bahkan mirisnya lagi ” nyekel pitik siji ae gak kenek” (dalam bahasa Jawa), ko disuruh bayar 1 juta lebih terus uang dari mana”, terangnya sambil mengeluh.
Saat dikonfirmasi, Mulyati, salah satu petugas di kantor PLN Tulungagung, menyatakan bahwa hukuman didasarkan pada temuan kabel yang berlubang di atas spedometer listrik pelanggan. “Kalau tidak menerima denda ini, silakan buat surat keberatan,” ujarnya, seolah menutup ruang diskusi. Pernyataan ini justru menimbulkan pertanyaan: apakah ini bagian dari prosedur yang seharusnya berjalan transparan, atau ada sesuatu yang lebih gelap di baliknya?
Sistem yang seharusnya melayani rakyat kini berbalik menjadi beban. Jika keadilan hanya berupa selembar surat keberatan tanpa kepastian penyelesaian, di mana perlindungan bagi masyarakat kecil? Apakah benar ini hanyalah kebijakan teknis atau sudah merasuk menjadi praktik yang menyesakkan dada?
Pelanggan listrik bukan sekadar angka dalam daftar tagihan. Mereka adalah rakyat yang memiliki hak, bukan sekadar objek yang bisa dijatuhi sanksi tanpa penjelasan memadai. Jika kebijakan ini terus berjalan tanpa transparansi, maka pertanyaan besar harus diajukan: di mana negara ketika rakyat kecil mencari keadilan?
Masihkah kita percaya bahwa listrik menerangi kehidupan, atau kini ia menjadi bayang-bayang yang menyesakkan rakyat?
( Mualimin/ SPJ News.id )



 
					





 
						 
						 
						 
						