spjnews.id | Tulungagung— Jalan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi para pengguna justru berubah menjadi arena penuh risiko. Di sepanjang Jembatan Ngujang 2, hingga ke selatan dan barat, debu dan pasir beterbangan dari truk bermuatan tanah urug dan pasir yang melaju tanpa penutup terpal. Para pengendara motor yang melintas, terutama di siang hari, merasa terancam oleh debu yang menyerbu tanpa ampun. Bila tidak memakai kacamata, risiko gangguan penglihatan semakin besar, bahkan membahayakan keselamatan berkendara.
Keluhan datang dari berbagai pihak, termasuk Sutris, warga Desa Bukur. “Setiap kali berpapasan dengan truk bermuatan tanah urug dan pasir tanpa penutup, mata saya sering terasa perih. Debunya berterbangan, masuk ke mata, dan membuat berkendara menjadi tidak nyaman. Kami berharap aparat terkait segera bertindak,” tuturnya dengan nada kecewa.( Minggu 25/05/2025)
Yang menjadi pertanyaan mendesak: apakah pihak berwenang akan menertibkan pelanggaran ini, atau membiarkannya menjadi kebiasaan yang terus mengancam pengguna jalan? Dalam aturan lalu lintas yang berlaku, muatan yang berisiko menimbulkan bahaya bagi pengguna jalan seharusnya ditutup dengan terpal. Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbicara lain—keselamatan rakyat kalah oleh kelalaian dan lemahnya pengawasan.
Jika setiap pihak hanya diam, tanpa ada teguran ataupun sanksi, maka kita tidak sedang membangun tata kelola jalan yang aman, melainkan membiarkan ketidakteraturan menjadi norma. Kesadaran dan kepedulian dari aparat menjadi kunci. Jalan raya bukan sekadar jalur transportasi, tetapi juga ruang hidup bagi masyarakat. Dan di ruang hidup ini, tidak seharusnya debu dan pasir menjadi ancaman yang dibiarkan.
Maukah kita terus membiarkan kebiasaan ini berlangsung? Ataukah sudah saatnya kita menuntut tindakan tegas demi kenyamanan dan keselamatan bersama?
( Mualimin/SPJ News.id )
