spjnews.id | NGANJUK – Warga Baron, Nganjuk berinisial EB nyaris menjadi korban dugaan aksi premanisme berkedok Debt Collector di Jalan Bypass Mojokerto, tepatnya di sekitar Pos Polisi Mertex. Insiden tersebut terjadi saat EB dalam perjalanan dari Nganjuk menuju Surabaya untuk mengantar keluarganya, Sabtu (12/4/2025).
Berdasarkan informasi yang dihimpun, kendaraan Toyota Avanza yang dikendarai EB tiba-tiba dipepet dan didahului oleh mobil lain, hingga terjadi benturan antar kendaraan. EB mengaku sempat kehilangan kendali, namun berhasil menguasai kendaraannya meski masih terus dibuntuti oleh tiga mobil yang diduga milik debt collector.
“Setelah terjadi benturan, mereka terus mengejar saya. Karena merasa terancam, takutnya mereka itu begal saya memutuskan berhenti di Pos Polisi Mertex.
Tiga mobil yang membuntuti saya pun ikut berhenti, lalu para penumpangnya langsung mengerumuni mobil saya. Sempat terjadi adu mulut, saya akhirnya mendapat bantuan dari petugas polisi yang berjaga di pos,” jelas EB kepada wartawan.
Petugas di pos polisi kemudian mengarahkan dan mengantar EB ke Polres Mojokerto untuk membuat laporan resmi. Pihak kepolisian juga menyatakan telah menerima laporan tersebut dan tengah melakukan penyelidikan guna mengidentifikasi para pelaku.
Menanggapi kasus ini, praktisi hukum Anang Hartoyo, S.H. yang juga Aktivis di LSM-GMBI, menegaskan bahwa tindakan oknum debt collector tersebut bukan semata-mata urusan perdata, melainkan sudah masuk dalam ranah pidana.
“Tindakan menghadang warga, membawa ke lokasi tertutup, memaksa menandatangani dokumen, dan merampas kendaraan secara sepihak adalah bentuk nyata dari premanisme yang melanggar hukum pidana,” tegas Anang.
Ia menjelaskan bahwa tindakan tersebut dapat dikenakan Pasal 365 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan dan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan. Selain itu, aksi sepihak itu juga melanggar hak konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan SEMA Nomor 2 Tahun 2021 secara tegas menyatakan bahwa eksekusi jaminan fidusia tidak bisa dilakukan secara sepihak. Harus melalui proses pengadilan. Tidak ada ruang bagi intimidasi atau kekerasan dalam praktik penagihan utang,” lanjutnya.
Anang Hartoyo juga mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap kasus ini dan menindak perusahaan pembiayaan yang menggunakan jasa penagih ilegal.
“Negara tidak boleh kalah oleh aksi premanisme. Karena sudah banyak dan sering kejadian seperti ini, Hukum harus hadir untuk melindungi rakyat. Ini momentum untuk menertibkan praktik penagihan yang melanggar hukum dan meresahkan masyarakat,” tutupnya.
( Alf-spj ).