Aku adalah jelata
Setiap hari mengungkai kaki, menyala makan
Pulang malam melanting uang
berlembar-lembar, sekadar recehan
Tapi aku tetap mendengkur dengan renyap
Pada suatu masa
Di negeri ku
Orang-orang dan Jelata tak lagi mengalas di jalan-jalan, di pinggiran kota, di tengah ekspansi, di lorong-lorong, di atas gedung, di pasar murah, di amal bazar, di sekolah, di perusahaan, di lembah, di gorong-gorong
Tanah jarang basah
Udara mengepulkan wajah wabah dan pemerintah
Suara-suara gaduh dengan sirine pembawa jenazah
Katanya, dunia berkalang tanah,
Berjiwa-jiwa serempak binasa
Tumbang di mana saja
Di tempat apa saja
Dikubur entah bagaimana
Pada suatu masa
Di negeri ku
Para Jelata meraung di seluruh penjuru
Denyut semakin melarat,
Sandang pangan mengempis,
Para ibu menangis
Bapak-bapak hampir mati pesimistis
Para buruh disisih
Toko-toko kecil dan perusahaan akhirnya jatuh dengan pedih
Sedang subsidi ludes dikikis para pembesar yang rondah-randih
Katanya, orang-orang akan mati karena pandemi
Nyatanya, mereka mati karena perut mereka sunyi
orang-orang akan selamat kalau berdiam diri menunggu
Nyatanya, mereka mati karena terbelenggu
Pada suatu masa
Di negeriku
Tataran aturan semakin membosankan
Orang-orang saling berbantah
Saling menyalah
Para tukang saling membantai
Politisi saling menindas
Pak Pol pada rakyat saling mengedor
Rakyat sesama rakyat saling menjerit
Juru rawat pada pasien saling mengerang
Guru dan murid saling meratap
Semua tak lagi kontributif
Kecuali, kemana Para penguasa?
Tetiba tuli pada jelata,
Coretan penyair dibantah,
Suara mahasiswa malah dianggap tak beradab
Penguasa meminta rakyatnya patuh,
Rakyat patuh, tapi semakin jatuh
Para penguasa semakin utuh dan tangguh
Pada suatu masa
Di negeriku
Kami hidup di era meditasi dan kejahatan yang sempurna
Suatu nanti,
Dalam sejarah,
dimana hasrat untuk hidup begitu kuat,
Kami akan disambut dengan sorak-sorai kebenaran yg mengerikan.