spjnews.id | Jakarta – Dewan Pengurus Pusat GERAKAN PENGAWAL SUPREMASI HUKUM (DPP GPSH) siap dampingi dr. Eva Sri Diana dan Keluarga Korban “Penembakan” dr. Sunardi yang diduga dilakukan Anggota Densus 88 Kepolisian RI. dr. Eva Sri Diana adalah teman seprofesi dan teman seperjuangan Almarhum dr Sunardi.
Menurut dr. Eva yang juga aktivis hukum dan kemanusiaan serta Pengurus DPP Gerakan Pengawal Supremasi Hukum, bahwa dia merasa terpanggil untuk menyuarakan kepedihan pihak Keluarga dan juga ingin menyembuhkan luka hati teman teman seprofesinya. dr. Eva tidak habis pikir kenapa ini terjadi pada tokoh pejuang kemanusiaan yang legendaris dan baik hati itu.
“Saya sudah bicara dengan dr. Eva bahwa rekan rekan Pengacara yang tergabung dalam DPP GPSH sudah bersedia dan siap dampingi dr. Eva begitu juga untuk Keluarga Almarhum dr. Sunardi jika diperlukan kami siap,” tegas H. M. Ismail, SH, MH, Ketum DPP GPSH, Sabtu (12/3/2022) di Jakarta.
Sebelumnya Ketum DPP GPSH menyatakan ikut berduka atas kepergian sahabat pejuang Almarhum dr. Sunardi yang tidak kenal lelah itu. Kita semua pasti sedih dan pasti terluka atas tragedi ini. Oleh karena itu, menurut H. M. Ismail bahwa kita semua dan atau siapapun harus pandai, harus cerdas dan harus sabar menyikapi tragedi ini. Yang pasti nanti ada Tim Investigasi Indenpenden, ada rekonstruksi dan ada alat alat bukti lainnya yang berbicara kronologis tragedi itu.
Densus 88 seharusnya dapat bertindak profesional yang mengacu kepada protap dan berbagai ketentuan yang berlaku serta mempertimbangkan faktor kemanusiaan. Kita semua tidak terkecuali densus 88 harus berjiwa pancasilais. Densus 88 bukan mesin pembunuh yang tidak berprikemanusiaan, apalagi yang dihadapinya hanyalah seorang dokter yang tidak bersenjata. Kami meminta agar DPR, DPD, MPR dan Kapolri mengevaluasi kinerja, dugaan pelanggaran protap dan hukum yang diduga dilakukan oleh densus 88 terhadap Alm dr. Sunardi
Ahli Hukum Pidana Prof. Amir Hamzah mengatakan kejahatan teroris tersebut harus nyata, melakukan propaganda atau tidak, menggunakan senjata dan berdampak kerugian secara nyata bagi orang lain, sebagaimana rumusan pasal 1 ayat (2) jo. pasal 6 dalam UU anti terorisme No.5 tahun 2018 yang mengubah UU No.15 tahun 2003.
Kalau belum/tidak bisa dibuktikan lebih awal, mestinya polisi densus 88 tidak bisa bertindak seperti itu, main hakim sendiri (ilegal murder) dalam engerichting. (herbil/spjnews.id)