spjnews.id | Jakarta – Tiga Karakteristik Utama Kurikulum prototipe merupakan kurikulum yang dicanangkan untuk menghadapi learning loss atau kehilangan pembelajaran khususnya dalam bidang literasi dan numerasi.
Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyebutkan bahwa setelah pandemi, dilansir dari laman naikpangkat.com, kemampuan literasi siswa mengalami learning loss setara dengan enam bulan belajar, sedangkan untuk kemampuan numerasi mengalami learning loss setara dengan lima bulan belajar. Data tersebut merupakan daya kemajuan belajar dari kelas 1 ke kelas 2 SD.
Adanya kurikulum prototipe ini tentunya memiliki tujuan untuk kemajuan hasil dan proses pembelajaran guna menghasilkan peserta didik yang siap untuk menghadapi perkembangan jaman.
Berikut adalah tiga karakteristik utama kurikulum prototipe :
1. Pengembangan Karakter
Meskipun pada K-13 sudah mulai mulai menekankan pengembangan karakter, namun secara porsi memang belum memiliki porsi khusus dalam struktur kurikulumnya.
Kurikulum prototipe ini memberikan penjelasan lebih detail terkait pengembangan karakter, yaitu sebanyak 20-30 persen. Pengembangan karakter tersebut difokuskan pada profil pelajar pancasila yang diberikan melalui pembelajaran berbasis projek.
Pembelajaran berbasis projek ditujukan untuk memberikan kesempatan belajar secara langsung melalui pengalaman, struktur belajar yang cendrung fleksibel, serta mengintegrasikan kompetensi dari berbagai disiplin ilmu yang akan dipelajari oleh peserta didik. Salah satunya adalah elemen akhlak beragama.
Perkembangan dimensi beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia dibagi menjadi enam fase, yaitu si akhir fase PAUD anak, akhir fase A (Kelas 1-2, usia 6-8 tahun) pelajar, akhir fase B (Kelas 3-4, usia 8-10 tahun) pelajar, akhir fase C (Kelas 5-6, usia 10-12 tahun) pelajar, akhir fase D (Jenjang SMP, usia 13-15 tahun) pelajar, dan akhir fase E (Jenjang SMA/SMK, usia 16-18 tahun) pelajar.
2. Fokus pada Materi Esensial
Materi esensial ini berusaha memberikan fasilitas ruang dan/atau waktu untuk peserta didik mengembangkan diri sesuai dengan kompetensinya, terutama kompetensi mendasar (liiterasi dan numerasi) agar dapat dipelajari secara lebih mendalam.
Materi esensial ini diterapkan pada setiap mata pelajaran, sehingga proses belajar mengajar tidak hanya berbentuk ceramah satu arah dan hanya mengejar ketuntasan dalam penyampaian materi.
Materi pembelajaran yang terlalu padat seringkali mendorong pengajar menggunakan metode ceramah yang sifatnya satu arah, tidak ada timbal balik antara penyaji dan pendengar.
Selain metode ceramah, beberapa metode lain juga digunakan pengajar dengan tujuan untuk mencapai ketuntasan dalam penyampaian materi yang tidak menutup kemungkinan, beberapa siswa merasa kewalahan dengan metode tersebut.
Melalui kurikulum prototipe ini, diharapkan mampu menjadi jalan tengah agar materi yang disampaikan tidak berlebihan dan berfokus pada materi inti yang dapat dikembangkan secara lebih luas oleh peserta didik.
Melalui prinsip penyederhanaan materi esensial yang dapat diterapkan dalam setiap mata pelajaran ini dapat diwujudkan dalam jumlah kompetensi yang diberikan.
Misalnya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia yang pada kurikulum K-13 memiki 52 Kompetensi dasar disederhanakan menjadi 22 dalam kurikulum prototipe, penyederhanaan tersebut menunjukkan adanya penurunan rata-rata kompetensi sebesar 57 %.
Namun, angka persentasi penyederhanaan tersebut tidak harus sama pada setiap mata pelajaran. Salah satu contohnya adalah pada mata pelajaran Matematika dimana pada kurikulum K-13 memiliki 38 kompetensi dasar, kemudian mengalami penurunan sebesar 28% menjadi 27 kompetensi pada kurikulum prototipe.
Berdasarkan survei INOVASI dan Puslitjak yang dilaksanakan pada bulan April-Mei 2021 dengan sumber dari 18.370- siswa SD kelas 1-3 di 612 sekolah, 20 kabupaten/ kota dari 8 provinsi menyatakan bahwa manfaat kurikulum darurat dalam bidang numerasi dirasakan lebih besar pada siswa yang berasal dari kelompok rentan.
Manfaat yang dirasakan dalam penanganan learning loss melalui kurikulum darurat setara dengan 6 bulan hingga delapan bulan pada siswa dari kelompok rentan. Kelompok rentan tersebut diantaranya adalah siswa dengan ibu yang tidak bisa membaca, siswa yang tidak memiliki buku teks, dan siswa di wilayah tertinggal.
Survei tersebut juga menunjukkan adanya manfaat kurikulum darurat dalam bidang literasi yang pada siswa yang berasal dari ketiga jenis kelompok rentan seperti di atas (ibu yang tidak bisa membaca, siswa yang tidak memiliki buku teks, dan siswa di wilayah tertinggal) setara dengan 5 sampai bulan.
3. Fleksibilitas Perancangan Kurikulum Sekolah dan Penyusunan Rencana Pembelajaran
Kurikulum prototipe tidak mengacu pada jam pelajaran tiap minggu, namun menetapkan jumlah jam pelajaran selama setahun, dimana sekolah dapat melakukan inovasi dalam proses pembelajarannya.
Hal tersebut juga diterapkan pada tujuan pembelajaran yang awalnya dilakukan dalam satu tahun sekali diubah menjadi tujuan belajar per fase, dimana setiap fasenya berlangsung selama 2-3 tahun.
Misalkan pada fase A, yaitu peserta didik dengan usia 6-8 tahun, dimana umumnya anak dengan usia tersebut sedang memasuki kelas 1-2 sekolah dasar. Capaian pelajaran dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dibagi menjadi empat, yaitu menyimak, membaca dan memirsa, berbicara dan mempresentasikan, serta menulis.
Peserta didik diharapkan mampu memenuhi kriteria tersebut ketika sudah genap berusia 8 tahun. Adapun proses pembelajaran dengan keempat tujuan tersebut dimulai ketika anak berusia 6 tahun.
Praktiknya, sekolah atau pendidik diberikan kebebasan untuk berinovasi dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut.
Sebagai wujud opsi tambahan dalam menghadapi learning loss selama pandemi ini, kurikulum prototipe telah mempertimbangkan berbagai macam faktor.
Mulai dari adanya kurikulum darurat yang disesuaikan dengan pembelajaran dari selama pandemi yang merupakan kurikulum K-13 yang disederhanakan hingga pemulihan pembelajaran.
Pemulihan pembelajaran ini diperkirakan akan berlangsung selama tahun 2022 – 2024, dimana Kurikulum Prototipe ini diberikan sebagai sebuah opsi bagi seluruh satuan pendidikan selain K-13 dan Kurikulum darurat.
Baru kemudian setelah memasuki tahun 2024 ini dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kurikulum yang diterapkan selama masa pemulihan pembelajaran untuk kemudian dilakukan penentuan kebijakan kurikulum nasional.
Proses adaptasi kurikulum prototipe ini sudah mulai dikembangkan per tahun 2021, salah satunya di TK GPdl Imanuel, Manembo-nembo, Kota Bitung, Sulawesi Utara; SD NU Al-Mustaniroh, Gresik, Jawa Timur; SMP Negeri 4 Poco Ranaka, Manggarai Timur; dan SMA Negeri 1 Sikur, Lombok Timur.
Beberapa respon yang diberikan oleh satuan pendidikan tersebut cenderung positif dengan adanya penyederhanaan materi, dan fleksibilitas yang diberikan. Buku pelajaran yang diberikan juga dinilai lebih fleksibel dan mudah dipahami oleh guru maupun siswa.
Guru juga terdorong untuk lebih memahami karakteristik personal yang dimiliki oleh siswa yang berdampak pada terfasilitasinya bakat dan minat yang dimiliki oleh siswa.
Ketiga Karakteristik utama kurikulum prototipe tersebut menjadikan kurikulum prototipe ini lebih terfokus pada capaian keterampilan yang dimiliki oleh siswa, dimana siswa dibekali dengan pengembangan karakter dan materi esensial. Selain itu pihak sekolah juga mendapatkan kesempatan berinovasi melalui fleksibilitas dalam perancangan kurikulum dan Penyusunan Rencana Pembelajaran. )*Red