RIBUAN guru honorer dari berbagai daerah berhimpun di depan Istana negara pada 30 Oktober 2018. Bahkan, mereka rela bermalam di lokasi demi terpenuhinya tuntutan yang telah terpatri. Semua yang berkumpul memiliki hajat yang sama, yakni meminta pemerintah mengangkat setatus mereka. Dari guru honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). (CNNIndonesia.com 31/10/2018)
Tuntutan ini tidak berlebihan sebenarnya. Sebab bagaimanapun, para guru honorer memiliki tanggungjawab yang sama besar dalam mendidik generasi bangsa. Selain itu, layaknya manusia, para guru honorer ini juga berhak hidup layak dengan upah yang diterima. Mengingat biaya kebutuhan hidup yang kian hari semakin tinggi. Namun sayangnya, hingga kini nasib guru honorer tidak pernah beranjak. Tetap nelangsa.
Saat ini, menjadi PNS adalah solusi realistis bagi guru honorer untuk mengangkat kesejahteraan mereka. Peroleh gajih yang sepadan, tunjangan serta jaminan hari tua adalah harapan yang menari-nari di pelupuk mata. Karenanya, mereka rela berlelah-lelah tegak berdiri di depan istana negaranya dengan harapan ada welas asih dari Sang Raja.
Guru Tetaplah Guru
Getir. Inilah sesungguhnya rasa tatkala melihat pemandangan yang ada. Di mana para pahlawan bangsa bernama guru, harus berpanas berpeluh mengiba untuk peroleh sejahtera. Padahal, bukankah guru tetaplah guru? Honorer ataupun pegawai negara, mereka memikul beban yang sama. Bercita-cita mulia, mencerdaskan generasi bangsa. Lantas mengapa harus berkasta?
Sudah semestinya, pemerintah bergegas menuntaskan persoalan ini. Bagaimana agar tidak ada lagi pembeda dalam hal kesejahteraan bagi para pendidik yang ada. Karena hakekatnya, inilah harapan para pengajar di Bangsa kita. Maka, seharusnya pemerintah berhenti mengenakan kacamata kapitalisme. Tidak boleh lagi memandang untung-rugi dalam perkara sepenting ini. Sudah saatnya, negara memandang urusan pendidikan adalah kebutuhan mendasar yang harus dijamin pemenuhannya dari hulu hingga hilirnya.
Dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, seharusnya bukan perkara sulit bagi negara untuk mencipta sejahtera. Bukan saja bagi para guru, tetapi juga bagi seluruh warganya. Tidak ada alasan minim anggaran jika saja negeri ini berdaulat mengelola SDAnya sendiri.
Mari Belajar Menghargai Pengajar
Jangan pernah lupakan sejarah. Demikian pesan Founding Father bangsa ini. Ya, karena darinya banyak pelajaran dan hikmah yang bisa kita jadikan perbandingan. Baik-buruknya sejarah dapat menjadi gambaran, bagaimana seharusnya suatu bangsa melangkah gagah.
Berbicara tentang kesejahteraan Oemar Bakri masa kini, tiada salahnya jika kita menoleh ke masa lalu. Di mana guru sejahtera bukan sekedar asa. Tidak pula berkasta. Setiap guru peroleh penghargaan yang tidak hanya mensejahterakan tapi juga memuliakan.
Adalah sebuah peristiwa yang tercatat indah dalam tinta sejarah. Terjadi dalam masa pemerintahan Amirul Mukminin, Umar bin Khattab ra. Nasib guru pada masa itu, terlampau sejahtera. Bagaimana tidak, pada zamannya, para guru diberikan upah 15 dinar setiap bulannya. Setara dengan 63,75 gram emas. Berapa totalnya jika dirupiahkan? Ya, fantastis!
Jika pada masa teknologi dan ilmu pengetahuan yang masih terbatas saja Amirul mukminin mampu mencipta sejahtera, bukankah kita yang sudah berada di zaman modern ini seharusnya bisa berlaku lebih atau minimal sama? Karenanya, jangan pernah lupakan sejarah. Jangan enggan menelaahnya. Ambil pelajaran dan hikmah yang terkandung di dalam setiap peristiwa. Silih bergantinya peradaban dunia, tentu tidak bisu dari tunjuk ajar yang mampu menerangi jalan menuju pada perbaikan dan kebaikan.
Mari kita sejenak bercengkrama pada peradaban yang dipunggawai Islam. Potret nyatanya indah, sebagaimana yang tergambar pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab ra. Hal ini karena Islam memandang pendidikan adalah sebuah kebutuhan setiap individu. Maka Islam mewajibkan, negara sekaligus pemimpin di dalamnya untuk bersungguh-sungguh dalam menyelenggarakan pendidikan. Hilir hingga ke hulu, siswa juga guru, tidak akan disia-siakan barang sedikitpun.
Demikianlah peradaban agung yang pernah ada. Tidakkah kita gulana merindukannya? Tidakkah ada rasa, ingin mengulang keagungan semisal itu sekali lagi? Semoga, seluruh elemen bangsa memiliki rindu yang sama. Sehingga hidup sejahtera bisa sama-sama dirasa. Bukan hanya bagi mereka yang menjadi pejabat negara. Karena meski bergelar pahlawan tanpa tanda jasa, guru juga mendamba hidup sejahtera. []