Pada 17 January silam kita rakyat Indonesia baru saja disajikan suatu agenda bangsa yang cukup penting, yaitu Debat Pertama Capres/Cawapres yang akan memimpin kita beserta Negara Indonesia yang kita cintai di tahun 2019 – 2024 mendatang. Perhelatan ini secara substansi merupakan ajang bagi kita rakyat Indonesia, sebagai pemegang mandat tertinggi yang akan menggunakan hak pilihnya, untuk mengenal, menilai, mengukur, dan meyakini bahwa figur mana yang dirasa pantas serta mampu menakhodai bangsa ke depan.
Berdasar motif agenda tersebut, merupakan suatu keharusan bagi putra-putra terbaik bangsa yang maju menjadi kandidat untuk menampilkan kemampuan, kapasitas, kompetensi, berikut program serta gagasan yang dimilikinya agar dapat meyakini public (pemilih) bahwa mereka “pantas” untuk ada di forum tersebut. Termasuk pula penyelenggara, yang dalam hal ini adalah KPU-RI, dan semua pihak terkait, selayaknya mengkonstruksi acara tersebut sebaik mungkin sehingga mampu memenuhi capaian yang diharapkan dari forum penting ini.
Minim Edukasi
Forum Debat yang rencananya akan terdiri dari 5 seri ini, di seri pertama lalu telah bersama-sama kita saksikan secara utuh show-nya. Hanya secara pasti rakyat keseluruhan tidak mengetahui secara detail dan pasti apa-apa yang ada, terjadi, termasuk pertimbangan penyelenggara, begitu pula para kandidat dalam mempersiapkan/menghadapi (pra) agenda tersebut. Memang tersampaikan kepada public tentang beberapa hal, semisal adanya permintaan agar materi pertanyaan tidak bersifat “remeh” karena ini adalah forum untuk pemilihan pemimpin Negara. Kemudian ada pula kebijakan penyelenggara untuk member “kisi-kisi” pertanyaan kepada kandidat/timses, dan beberapa ihwal lain. Dengan semua proses pra-debat itu, akhirnya kita semua telah menjadi saksi dari terlaksananya seri pertama debat tersebut.
Sebagai saksi, lantas apa pemikiran atau pertanyaan yang muncul setelah kita semua secara factual menyaksikan forum tersebut..?. Secara general saya akan mencoba mengurai beberapa hal dalam bentuk pointer yang bersifat konstruktif, karena apa-apa yang sudah baik kita semua berharap dapat dipertahankan atau bahkan dikembangkan. Secara prinsip, ada beberapa ihwal dalam prosesi debat tersebut yang saya sedikit merasa “terganggu”, diantaranya :
- Tema besar yang diusung dalam debat pertama tersebut, berikut topic-topik turunannya (Hukum, HAM, Terorisme) secara subjektif dapat menimbulkan pertanyaan dan praduga pada perspektif public mengapa tema besar yang dipilih pada debat pertama yang sangat dinantikan masyarakat tersebut seakan mempunyai tendensi “titik lemah” kandidat penantang, yang sebaliknya merupakan values keunggulan dari kandidat petahana. Persepsi ini pun semakin menguat ketika para kandidat memberikan statement penutup yang merupakan sessi penting dari debat. Kandidat petahana secara tegas, lancar, dan sistemik menggarisbawahi bahwa dirinya dan pasangannya adalah figure yang tidak mempunyai beban masa lalu, tidak mempunyai rekam jejak yang negasi dari tema debat tersebut. Hal ini jelas sangat meruduksi simpati public terhadap kandidat penantang. Dari fakta tersebut, timbul pertanyaan apakah KPU-RI dengan para exepertis (tenaga ahli/akademisi) yang mengkonstruksi debat ini tidak berpikir sejauh serta sedalam itu. Karena secara asas keadilan hal ini terasa sedikit tendensius, sementara masih terdapat opsi-opsi tema lain yang dapat menjadi pamungkas pada debat perdana tersebut, utamanya adalah tematik ekonomi. Karena pada prisnsipnya itulah yang sangat dirasakan dan dibutuhkan masyarakat, segala sesuatau (minus dogma) pada akhirnya akan terjadi pemadatan akhir pada pranata ekonomi, serta tujuan akhir/ideal dari setiap bangsa/masyarakat dengan ideology apapun adalah sudah pasti kesejahteraan…!
- Pada prosesi pra-debat, kita semua dapat mengetahui melalui media bahwa positioning KPU-RI sangatlah lentur jika tidak dapat dikatakan Saking “baiknya” KPU-RI berikut keterlibatan Bawaslu RI yang meberikan izin, sehingga hampir semua hal didiskusikan bahkan ditoleransikan dengan para kandidat beserta tim suksesnya. Padahal secara hakekat rakyat sebagai pemegang mandatlah yang lebih layak menjadi teman diksusi” atau rujukan KPU-RI. Yang terunik adalah ketika KPU-RI hingga menyepakati keinginan para kandidat beserta Timsesnya untuk memberikan kisi-kisi dari pertanyaan debat yang akan diajukan. Secara guyon saya ingin mengatakan, jika formatnya seperti itu, saya kira hampir semua orang Indonesia pun mampu menjadi kandidat Presiden atau Wakil Presiden. Atau dalam konteks lain yang bersifat komparatif, apakah fakta/perilaku itu dapat kita jadikan tauladan sehingga para siswa sekolah/pendidikan (SD, SMP. dst.) juga dapat mempunyai hak atau setidaknya diizinkan bernegosiasi dengan pendidik besertra lembaga pendidikannya untuk meminta kisi-kisi..??
- Terakhir, saya pribadi ingin mengetahui proses, pertimbangan, serta motif dari tim penyusun pertanyaan-pertanyaan pada debat tersebut. Sebab saya yang mencoba mendalami pola pertanyaan-pertanyaan yang merupakan turunan dari topic-topik (HAM, Hukum, Terorisme, dll) dalam debat perdana tersebut, yang saya dapati adalah hampir pada semua pertanyaan dengan topic apapun mempunyai hakekat “persamaan persoalan”, sehingga berdampak pada hampir seluruh jawaban para kandidat secara prinsipil adalah konteks penegakan hukum, hanya diuraikan dengan kata dan kalimat yang berbeda. Apakah tim penyusun pertanyaan pada debat tersebut tidak mampu mengelaborasi lebih jauh dan dalam topic-topik tersebut menjadi pertanyaan yang mempunyai bobot tinggi dan variatif,.?. Juga apakah mereka tidak melakuakan trial an error serta simulasi dari format serta pertanyan yang mereka buat..?.
Penutup
Penutup singkat saya, dari semua uraian dan fakta di atas, kita rakyat Indonesia telah menyaksikan suatu perhelatan penting bangsa yang secara edukatif sangat tidak mendidik. Semoga seluruh rakyat Indonesia yang terlanjur menyaksikan debat perdana tersebut dapat bijak, dewasa, dan cerdas, menyikapi fakta tersebut.
KITA SEMUA BERSAUDARA