spjnews.net|JAKARTA–Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mencatat sekitar 8,8% dari total 7 juta pengangguran di Indonesia adalah sarjana. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan mengingat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin ketat dengan datangnya Revolusi Industri 4.0.
Selain bersaingan dengan mesin berbasis teknologi canggih, sekitar 630.000 sarjana pengangguran tersebut juga harus beradu kompetensi dan keahlian tertentu dengan pekerja asing yang datang dari terbukanya pasar bebas (al imigran China-Redaksi). Perguruan tinggi sebagai lembaga pencetak sumber daya manusia yang unggul diharapkan dapat memberi kontribusi besar terhadap upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Menristekdikti Mohamad Nasir mengatakan, Indonesia memiliki banyak potensi yang dapat dijadikan sumber penguatan ekonomi nasional. Membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya yang terus diupayakan pemerintah harus didukung dengan kompetensi lulusan kampus yang berdaya saing global. Keahlian para sarjana harus sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan industri.
Ia menyatakan, Kemenristekdikti terus berupaya mendorong peningkatan daya saing bangsa, seperti merevitalisasi pendidikan tinggi vokasi. Menurut dia, perguruan tinggi berperan strategis dalam mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan berpendidikan tinggi serta berwawasan global. “Perguruan tinggi harus mampu menghasilkan sumberdaya yang mampu bersaing secara global,” ujar Nasir di Kantor Kemenristekdikti, Senayan, Jakarta, Senin 26 Maret 2018.
Tantangan baru
Nasir menuturkan, perguruan tinggi dan para mahasiswa harus bisa beradaptasi dengan disrupsi teknologi jika ingin bertahan dalam persaingan. Menurut dia, jumlah sarjana yang lulus setiap tahun tak sebanding dengan serapan tenaga kerja. Lapangan kerja yang terbatas membuat persaingan semakin ketat.
Untuk itu, pemerintah terus berupaya memperluas lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas merupakan agenda utama pemerintah kedepan dalam membuat kebijakan. Kita telah memasuki era revolusi industri 4.0, yaitu era disrupsi teknologi, era berbasis cyber physical system. Ini merupakan tantangan baru yang dihadapi oleh negara-negara di ASEAN untuk mempersiapkan SDM-nya,” ucapnya.
Kesulitannya sarjana menembus dunia kerja karena relevansi antara mutu perguruan tinggi dan kebutuhan dunia industri masih rendah. Kemenristekdikti mendata, tahun lalu, jumlah tenaga kerja lulusan perguruan tinggi hanya sebesar 17,5%. Persentase tersebut jauh lebih kecil ketimbang tenaga kerja lulusan SMK/SMA yang mencapai 82%, sedangkan lulusan SD mencapai 60%.
Pemetaan serapan tenaga kerja tersebut hampir tak akan berubah setidaknya dalam kurun 5 tahun ke depan. Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti, Ali Ghufron Mukti, mengatakan bahwa saat ini lulusan perguruan tinggi turut menyumbang pengangguran yang menjadi beban negara. Ia menjelaskan, relevansi lulusan perguruan tinggi terhadap kebutuhan tenaga kerja menjadi faktor penting dalam upaya mencegah sarjana menganggur.
Peningkatan sarana
Rektor Universitas Gunadharma, Margianti, menyatakan bahwa peningkatan sarana teknologi menjadi fondasi dalam meningkatkan daya saing perguruan tinggi. Pasalnya, lapangan perkerjaan dan dunia usaha ke depan akan sangat mengandalkan inovasi yang bergerak sangat cepat dan dinamis.
“Universitas Gunadharma sudah menjadi universitas berbasis teknologi dengan akreditasi A di Kopertis Wilayah III. Kami unggul dalam jumlah sertifikasi dosen terbanyak dan jumlah dosen doktor terbanyak. Saat ini, kami sudah memiliki rumah sakit dan sudah terencana dibangun 18 lantai yang nantinya akan menjadi rumah sakit pendidikan. Kami juga tengah menyiapkan akreditasi internasional untuk program studi teknik,” kata Margianti.[pr]