DALAM acara ILC TV ONE yang bertajuk Ijtima’ Ulama 2 dengen tema “Berebut Suara Umat Islam” ada yang berujar bahwa seluruh pesantren di Indonesia mendukung salah satu pasangan Calon Presiden (Capres). Ujaran itu tidaklah benar, sebab pesantren bukanlah entitas yang terjun dalam politik praktis.
Meski harus diakui bahwa kedua kandidat capres akan mencari dukungan pesantren dan ulama. Kedua kandidat terus sibuk mencari dukungan dan berebut suara umat Islam. Mengapa umat Islam begitu berarti dalam setiap moment Pemilu, tentu karena sistem demokrasi menghajatkan suara terbanyak sebagai indikasi kemenangan dalam kontestasi Pipres.
Pesantren, terutama figur kiai adalah elemen strategis bagi upaya mendulang suara. Selain memiliki banyak jamaah, kyai juga merupakan figus spiritual yang lisannya masih didengarkan oleh masyarakat. Itulah mengapa kedua kandidat mengklaim dirinya didukung oleh para ulama dan pesantren.
Setelah Joko Widodo (Jokowi) menggandeng KH Ma’ruf Amin yang sebelumnya sebagai ketua MUI, kini giliran Prabowo didukung penuh oleh Ijtima’ Ulama 2 beberapa waktu yang lalu. Atmosfir ini adalah berat bagi ulama. Sebab polarisasi ulama atau pesantren dalam kontestasi politik praktis akan membawa konsekuensi.
Ulama adalah sosok yang selama ini berperan memberikan ilmu dan pencerahan kepada bangsa, kini harus terjun langsung dalam Pemilu praktis. Sosok yang selama ini menggeluti tafaqquh fiddin, kini harus berhitung soal kalah dan menang.
Ulama, pesantren dan kekuasaan adalah tiga komponen yang terus mengalami dinamika relasi. Pemilu 2019 adalah sebuah proses menguatnya relasi antara ulama dan politik kekuasaan. Sementara pesantren adalah tetaplah lembaga tafaqquh fid din yang tidak boleh terkontaminasi oleh politik praktis.
Islam sendiri adalah agama paripurna yang memiliki konsepsi politik yang juga paripurna. Di sinilah ulama harus berhati-hati melangkah. Kesalahan langkah ulama dalam berbaur dengan politik praktis akan berdampak besar bagi bangsa ini. Idealnya, keterlibatan ulama dalam politik akan membawa bangsa ini pada puncak kebaikan dan kemuliaan.
Satu hal yang penting adalah bahwa jangan sampai terjadi proses polarisasi yang makin menajam antar ulama akibat kontestasi Pemilu 2019 ini. Sebab ulama adalah pewaris para nabi yang tugasnya adalah mencerahkan, mendidik, menyatukan, mendamaikan dan melurukan kehidupan berbangsa.
Ulama dan Politik
Ulama dan pesantren mewakili paradigma Islam. Ulama adalah representasi politik Islam. Ulama adalah sosok yang berjalan di belakang keteladanan Rasulullah. Terkait peran strategis ulama, Rasulullah ﷺ bersabda, ”Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama.” [HR Ad Darimi].
Dari ucapan Rasulullah ﷺ itulah muncul istilah dalam literatur Islam frasa ulama su’ dan ulama yang lurus. Kata ulama adalah bentuk jama’ dari ‘alim yang artinya ahli ilmu atau ilmuwan. Sementara kata su’ adalah masdar dari sa’a-yasu’u-saw’an yang artinya jelek, buruk dan jahat. Secara bahasa arti ulama su’ adalah ahli ilmu atau ilmuwan yang buruk dan jahat.
Tidak tanggung-tanggung, istilah ulama su’ dalam dalam pandangan Islam dikaitkan dengan harta dan tahta. Artinya relasi ulama dan politik kekuasaan bisa membawa ulama pada kemuliaan, tapi juga bisa menyeret ulama dalam kubangan kehinaan.
Politik kekuasaan adalah jebakan maut bagi ulama, sekaligus ruang strategis bagi terbangunnya peradaban yang beradab. Disorientasi politik ulama adalah malapetaka bagi peradaban sebuah bangsa, terlebih Indonesia yang mayoritas muslim ini.
Bencana bagi umat (datang) dari ulama su’, yaitu ulama yang dengan ilmunya bertujuan untuk mencari kenikmatan dunia, meraih gengsi dan kedudukan. Setiap orang dari mereka adalah tawanan setan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dikuasai kesengsaraannya. Siapa saja yang kondisinya sedemikian, maka bahayanya terhadap umat datang dari beberapa sisi. Dari sisi umat : mereka mengikuti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya. [lihat Al Allamah Al Minawi dalam Faydh al Qadir VI/369].
Karena itu ulama tidak boleh anti politik, pesantren tidak boleh acuh terhadap kondisi bangsa, sebab Islam adalah ritual sekaligus peradaban. Zaman keemasan Islam adalah potret peradaban terbaik hasil dari goresan karya dan pikiran para ulama dan ilmuwan muslim. Rasulullah sendiri adalah, selain sebagai Nabi adalah juga politikus ulung yang memimpin Negara Madinah.
Ahmad Y al- Hasan dengan hasrat tinggi pernah berucap, ” Marilah kita meletakkan skenario hipotesis : jika kekuasaan Islam tidak dilemahkan dan jika ekonomi negara-negara Islam tidak dihancurkan, dan jika stabilitas politik tidak diganggu, dan jika para ilmuwan muslim diberi stabilitas dan kemudahan dalam waktu 500 tahun lagi, apakah mereka akan gagal mencapai apa yang telah dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton?.
Ahmad Y al Hasan menyebutkan bahwa model-model planetarium Ibn al-Shatir dan astronomer-astronomer muslim yang sekualitas Copernicus dan yang telah mendahului mereka 200 tahun membuktikan bahwa sistem Heliosentris dapat diproklamirkan oleh saintis muslim, jika komunitas mereka terus eksis di bawah skenario hipotesis ini”.
Jika demikian, pesantren dan ulama adalah entitas politik spiritual yang mengacu kepada keteladanan Rasulullah dalam membangun peradaban yang lebih baik. Peradaban kapitalistik sekuler yang hari ini menghegemoni kehidupan bangsa ini harus segera diakhiri oleh para ulama dan ilmuwan muslim. Ulama harus mampu meluruskan kekuasaan yang bengkok, bukan malah memoles seolah indah.
Salah satu karakter ulama su’ adalah memperindah penguasa yang menzalimi manusia dan gampang mengeluarkan fatwa untuk penguasa. Pena dan lisannya mengeluarkan kebohongan dan kedustaan. Karena sombong, ia mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui. [lihat Al Allamah Al Minawi dalam Faydh al Qadir Syarah Jami’ Shogir Imam Syuyuthi, VI/369].
Relasi Konstruktif
Pesantren, ulama dan politik dalam relasi konstruktif akan membawa negeri ini menjadi negeri yang aman sentosa dan diberkahi Allah. Sebaliknya jika relasi ketiganya destruktif, justru akan menimbulkan bencana besar bagi kehidupan bangsa ini.
Agama adalah nasehat, maka tulisan ini adalah seuntai nasehat demi kebaikan negeri ini. Penting untuk direnungkan, bahwa sejatinya posisioning pesantren dan ulama adalah politik tingkat tinggi yang berorientasi pada pembangunan peradaban mulia melalui dakwah dan perjuangan, bukan terjebak dalam kubangan politik pragmatis yang hanya membincangkan harta dan tahta belaka.
Karena itu jika ada yang mengatakan bahwa seluruh pesantren di Indonesia mendukung salah satu pasangan Capres 2019, maka dipastikan tidak benar. Sebab pesantren bukanlah entitas yang terjun dalam politik praktis. Pesantren adalah entitas yang mengawal moral bangsa dan pembangun peradaban bangsa yang Islami melalui program dakwah, pendidikan dan sosial.*
Penulis aktif di Forum Doktor Islam Indonesia